As-Salam ‘ala Man Ihtada

Surat berbahasa Arab yang ditulis oleh seorang ulama Wahabi asal Saudi Arabia itu ditujukan pada KH. Maksum Lasem, seorang ulama kenamaan yang dikenal sebagai salah satu wali Jawa saat itu. Setelah membaca isi surat tersebut dengan seksama, tahulah sang kiai bahwa sang ulama Wahabi yang menuliskan surat tersebut ingin menggugat keberadaan thoriqoh yang tumbuh berkembang dengan pesat di Indonesia. Meski dikenal sebagai kiai kenamaan di wilayah pantai utara Jawa Tengah, namun kiai kharismatik itu merasa bahwa masih ada kiai yang lebih lebih pantas membalas surat asal Saudi Arabia tersebut. Surat itu pun diberikannya pada salah seorang santrinya yang telah menjadi kiai yang ‘alim, yaitu KH. Muslih bin Abdurrahman, mursyid Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah yang juga Rais ‘Am Jam’iyyah Ahl at-Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah asal Mranggen, Demak.

Setelah membaca sekilas isi surat tersebut, pengasuh Pesantren Futuhiyyah Mranggen itu pun segera memanggil salah seorang santrinya yang memiliki kemampuan menulis huruf-huruf Arab yang bagus. Sang Kiai pun mulai mendikte sang santri untuk menuliskan jawaban surat tersebut dalam bahasa Arab. Dari lisan Sang Kiai meluncurlah penjelasan-penjelasan detail tentang eksistensi thariqah dalam Islam beserta seluruh dalil-dalilnya. Uniknya, Sang Kiai memulai jawaban surat tersebut dengan salam: 

"As-salam ‘ala man ihtada (semoga keselamatan tercurahkan pada orang yang mendapatkan petunjuk)." 

Ketika sang santri menanyakan mengapa kalimat salam dalam surat tersebut tidak seperti biasanya, Sang Kiai menjawab: “Dengan kalimat salam seperti itu, sang pengirim surat yang mempersoalkan keberadaan thariqah tersebut akan paham bahwa dia sedang mendapatkan teguran keras ...” []

Posting Komentar

0 Komentar