Foto sekedar illustrasi. Sumber: Wikipedia
Pada pukul 11.00, Senin, 8 September 2014 bus yang kami tumpangi mulai mendekati Kota Madinah al-Munawwarah. Kurang lebih 7 km sebelum memasuki kota, bus kami berhenti di check point perbatasan (tafstisy). Petugas meminta saya sebagai ketua rombongan untuk turun guna pemeriksaan kesesuaian dokumen dengan penumpang yang ada. Dalam ruangan kecil check point tersebut saya hanya ditanya soal nama, asal negara dan jumlah anggota rombongan. Ketika kembali ke bus saya melihat petugas lain telah membagikan bungkusan dus kecil berisi air zamzam, kurma dan roti. Orang Arab memang paling senang membagikan makanan, minuman dan al-Qur’an.
Sebelum memasuki kota, saya kembali membayangkan bagaimana ketika Nabi dan Abu Bakar hendak memasuki kota ini disambut para sahabat Anshar dan Muhajirin yang lebih dahulu datang dengan lantunan shalawat: thala’a al-badr ‘alaina min tsaniyyat al-wada’ (telah muncul di antara kita, purnama dari tsaniyyat al-wada’). Saya membayangkan saat itu kota ini pasti begitu berbinar-binar menyambut kedatangan pria kekasih Tuhan itu. Tidak hanya para pria dewasa, para wanita, anak-anak dan kaum renta pun ikut bersuka cita melihat kedatangannya.
Tentu berbeda dengan Nabi yang dihasrati oleh kota yang berbalut cahaya (al-Madinah al-Munawwarah) itu, kamilah yang justru begitu berhasrat memasukinya. Kamilah yang berhasrat mengais keberkahan di kota ini. Karena itulah begitu kami hampir sampai, ada rasa haru yang tak tertahankan di hati kami. Dengan lidah kelu karena menahan tangis kami pun berdoa dan membacakan talbiyah bersama dalam bus yang terus merayap menembus pinggiran kota. Ketika tampak dari kejauhan menara-menara kecil yang menjulang tinggi menyeruak di antara bangunan-bangunan hotel berbintang yang dengan sombong berdiri mengitarinya, hati kami berdegup keras. Ya, itulah Masjid Nabawi yang yang auranya menggetarkan dinding-dinding perasaan kami!
Bus yang kami tumpangi berhenti di lorong dekat hotel di mana kami akan tinggal. Beberapa saat kemudian datang petugas hotel pada saya memberitahukan bahwa rombongan kami tidak bisa tinggal dalam satu hotel. Dari 42 orang jama’ah, 32 orang di antaranya tinggal di Hotel Diar Bustan (Funduq Diyar Bustan), sementara 10 orang lainnya harus tinggal terpisah di Hotel Soraya (Funduq Tsuraya). Saya pun mengajak para ketua regu untuk memutuskan pembagian kamar hotel tersebut. Ada empat ketua regu di rombongan kami: Sholihin, pegawai Kementerian Perhubungan yang selalu tampil serius, Thariq Abdul Ghaffar, pensiunan pegawai BNI yang masih energik, Muhtarom, dokter muda low profile yang kini telah berpulang dan Imam Mahmudi, prajurit marinir yang juga pengusaha kayu. Kami pun mengambil kesepakatan bersama soal pembagian kamar.
Meskipun Hotel Diar Bustan dan Hotel Soraya yang kami tinggali terletak agak jauh di luar ring pusat (majmu’ah markaziyyah), rombongan kami tetap bersemangat melaksanakan arba’in, ritual jama’ah shalat maktubah 40 waktu berturut-turut yang diyakini mendapatkan pahala yang berlipat-lipat. Kami memulainya dengan jama’ah shalat ashar sesaat setelah selesai menaruh bagasi di kamar hotel.
Secara fisik Masjid Nabawi memang masih kalah dibanding kemegahan istana Kekaisaran Austria-Hongaria Vienna di Eropa Barat ataupun Istana Kekaiasaran Praha di Eropa Timur yang pernah saya kunjungi. Tetapi memasuki masjid suci ini memang terasa lain. Bukan saja karena interior masjid yang luar biasa indah dan menyejukkan, melainkan juga karena masjid ini secara spiritual memang sarat dengan “aura” yang sangat lain. Dalam masjid ini terbujur jasad seorang nabi yang paling dikasihi oleh Tuhan. Dalam masjid ini pula terdapat roudlah, ruang terbuka di antara mimbar dan rumah nabi yang secara spiritual disabdakan oleh Nabi sebagai taman surga yang sangat dihasrati itu.
“Aura” lain yang dipancarkan oleh keagungan raudlah dan makam nabi inilah yang membuat kami segera ikut bergerak maju ke arah raudlah setelah selesai shalat Ashar yang menjadi titik hitungan awal ritual arba’in tersebut. Hasrat kami adalah memasuki area raudlah yang diyakini semua doa di dalamnya akan dikabulkan. Bagaimanapun, kami harus berebut dengan puluhan ribu jama’ah lain dari berbagai negara yang membanjiri masjid tersebut. Teriakan para petugas agar para jama’ah berbagi waktu tampaknya tidak terhiraukan sama sekali. Seolah kami tersedot dalam pusaran massa yang perlahan bergerak maju. Namun begitu memasuki area raudlah kembali lidah kami terasa kelu. Doa-doa yang telah kami siapkan dan hapalkan di luar kepala itu ternyata tak kuasa kami ucapkan sama sekali karena luapan perasaan yang menghentak-hentak dada kami. Kami hanya bisa berharap isak tangis kami bisa mewakili doa-doa yang tak terucapkan itu.
Kami tidak bisa berlama-lama di area raudlah karena harus bergantian dengan para jama’ah lain yang bagaikan air bah menerjang dari belakang. Ketika kami keluar dari raudlah dan berbelok ke kiri, sontak para jama’ah sambil menangis berteriak histeris: Assalamu’alaika ya rasulallah, assalamu’alaika ya habiballah...!!
Ya, di balik dinding berhiaskan tulisan ayat-ayat al-Qur’an warna hijau dan kuning keemasan itulah bersemayam jasad rasulullah, nabi paling agung kekasih Tuhan. Lelaki mulia itu memang telah berpulang seribu empat ratusan tahun silam, namun masih tetap merasakan aura kebesarannya. Mata kami seolah-olah melihat sosok manusia mulia berdiri di balik dinding itu sambil tersenyum berseri-seri melambaikan tangan pada kami. Kami pun berhenti sejenak melepaskan rasa rindu yang tak terperi itu sambil berdoa dan membaca shalawat padanya. Begitu keluar dari area makam nabi, kami tidak langsung pulang ke hotel. Jarak yang cukup jauh antara Masjid Nabawi dengan hotel membuat kami khawatir “tidak lulus” dalam ritual arba’in. Tentu bukan pahala berlipat-lipat yang dijanjikan itu yang menarik hati kami, melainkan keinginan melepaskan rindu pada kekasih Tuhan yang paling mulia itu. Di masjid itu, rasa rindu padanya yang terus membuncah tersebut seolah terlampiaskan. Kami lebih memilih menunggu waktu untuk bisa berjama’ah shalat Maghrib dan Isya’ di kompleks masjid sambil menikmati saat-saat di mana ratusan payung elektrik raksasa yang terdapat plaza masjid itu menguncup. Saya hanya bisa membayangkan bahwa dari atas payung-payung elektrik yang masih mengembang itu akan tampak seperti ratusan jamur yang tumbuh di tengah kota yang menghampar. (Bersambung).
0 Komentar