Di pagi hari itu, 10 Juli 2018, saya sebenarnya telah berniat untuk tidak berpamitan pada mbah Asy’ari, ayah kami (saya, kakak dan adik saya), bahwa saya akan terbang ke Jakarta. Bukan apa-apa, hanya karena di hari-hari tuanya ayah kami itu seringkali justeru menjadi gelisah bila dipamiti anak-anaknya, seolah khawatir kalau akan terjadi hal-hal buruk pada anak-anaknya. Tetapi kepergian saya hari itu untuk satu keperluan yang sangat penting. Sebagai Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo, saya dipanggil oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) untuk penyelesaian akreditasi salah satu prodi di fakultas yang bermasalah. Justru di situlah saya merasa ragu untuk tidak berpamitan pada ayah kami.
Ayah kami hanyalah seorang kiai kampung yang miskin di sebuah desa di Demak. Sejak mudanya, setelah pulang mondok di Karanganyar Godong, Kaliwungu Kendal dan Mbareng Kudus, hari-harinya diisi dengan mengajar mengaji anak-anak, para pemuda dan orang-orang tua di desa kami dan desa-desa sekitarnya. Di pagi hari dia mengajar mengaji al-Qur’an, di sore hari mengajar di madrasah diniyyah yang didirikannya, setelah maghrib mengaji Sullam at-Taufiq, setelah Isya’ mengaji Jurumiyyah, di bulan Ramadlan membaca Durraun Nasihin, dan setiap Ahad Legi memimpin tawajuhan Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah yang ijazah kemursyidannya diperolehnya dari KH Ahmad Muthohhar Mranggen.
Tidak seperti kiai-kiai besar yang banyak memiliki rejeki berlimpah dan mendapatkan sumbangan dari pemerintah atau pun orang-orang kaya yang ada di sekitarnya, sekali lagi, ayah kami hanya seorang kiai miskin yang tidak berpenghasilan apa-apa. Dua petak sawah yang dimilikinya tidaklah bisa diandalkan untuk menopang kehidupan ekonominya. Di hari-hari tuanya, kehidupannya hanya mengandalkan kiriman anak-anaknya. Tetapi justru itulah yang membuat saya percaya bahwa doanya maqbul. Itulah yang membuat saya berubah pikiran dan akhirnya berpamitan padanya sambil meminta doa restu agar kepergian saya ke Jakarta membawa hasil yang membahagiakan.
Pagi itu setelah berpamitan saya segera berangkat ke Jakarta dengan penerbangan Garuda. Setelah mendarat di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, saya segera menuju Kantor BAN-PT. Singkat kata, dalam acara yang digelar oleh BAN-PT pada siang hingga sore hari itu saya mendapatkan kabar baik terkait dengan penyelesaian salah satu prodi di fakultas saya yang bermasalah itu. Dengan hati penuh suka cita, saya segera beristirahat di Hotel Amaris, salah satu hotel murah paling dekat dengan Bandara Soekarno Hatta.
Sayangnya, rasa suka cita saya itu menjadi terusik ketika menjelang tengah malam handphone saya berdering. Ternyata istri saya memberikan kabar buruk, ayah kami terserang stroke berat pada malam hari itu. Untungnya, jiwanya masih tertolong berkat kerja keras tim kesehatan Si Cepat 1500132. Ambulan andalan Pemerintah Kota Semarang yang luar biasa itu membawanya ke Rumah Sakit KRMT Wongsonegoro Ketileng Semarang. Pagi harinya, setelah saya pulang dengan penerbangan Garuda yang pertama, saya mendapati ayah kami tergolek tidak sadar di ICU rumah sakit tersebut. Setelah 14 hari dirawat, meski stroke-nya belum juga sembuh, akhirnya dokter rumah sakit membolehkannya untuk pulang.
Di rumah, saya, kakak dan adik saya, juga istri dan anak-anak saya merawat ayah kami yang terkena stroke dan saraf itu dengan baik, bahkan sangat baik. Karena stroke dan saraf yang dideritanya, ayah kami tidak bisa berdiri, bahkan bangun dari tidur pun tidak mampu. Tiap hari kami, khususnya kakak saya, menyuapi makan dan minum, memandikan dan “nyeboki”-nya. Kakak saya itulah yang paling banyak berkhidmat melayani ayah kami. Sedangkan adik saya, karena tinggal di Bogor, sebulan sekali pulang untuk meminta jatah merawat ayah kami. Anak-anak saya, dari yang paling besar hingga yang bungsu, juga telah terbiasa menyuapi makan dan minum hingga “nyeboki” kakeknya. Seminggu sekali kami mencukur jenggot dan kumisnya yang terus tumbuh. Ayah kami pernah menangis mengungkapkan rasa senang dan bahagianya karena kami merawatnya jauh lebih baik dari yang dia harapkan.
Meski tidak juga membuahkan hasil, kami tidak pernah berhenti mencarikan obat untuk ayah kami. Pernah suatu saat di sore hari di bulan Agustus 2019, saya mendapatkan informasi adanya dokter perempuan spesialis saraf dari rumah sakit swasta paling terkenal di Semarang. Pada sore hari itu saya mencari-cari rumahnya dan akhirnya ketemu di Banyumanik. Pada dokter itu saya menceritakan penyakit stroke dan saraf yang diderita oleh ayah kami. Kepadanya saya meminta resep obat yang paling baik dan manjur untuk ayah kami. Dokter spesialis saraf yang ramah tersebut memberikan resep obat pada saya sambil mengatakan bahwa obat yang ada dalam resep tersebut sangat mahal. Saya pun mengatakan tidak masalah asalkan ayah kami bisa sembuh.
Setelah mendapatkan resep tersebut, segera saya menuju sebuah apotek di Banyumanik untuk membeli obat tersebut. Ternyata obatnya tidak tersedia di apotek yang saya tuju itu. Saya pun berpindah ke apotek lain, ternyata hasilnya sama. Saya hampir menyerah ketika di apotek ke delapan yang saya tuju ternyata juga tidak menjual obat tersebut. Dengan pikiran kosong saya memutuskan untuk pulang ke rumah melewati Jl. Gajah Semarang. Ketika menyusuri jalan itulah saya melihat sebuah apotek yang cukup besar (sengaja tidak saya sebutkan namanya). Saya pun berhenti dan segera masuk menanyakan obat tersebut. Setelah beberapa saat apoteker memanggil saya untuk masuk ke dalam. Dia mengatakan bahwa obatnya tersedia tetapi harganya sangat mahal. Saya menjawabnya tidak masalah.
Setelah menerima obat itu hati saya jadi berbunga-bunga. Sepanjang perjalanan pulang saya membayangkan ayah kami akan sembuh dari penyakit yang dideritanya. Begitu sampai di rumah, segera saya “ndulang” ayah kami dan sambil mengucapkan basmalah berkali-kali kemudian saya minumkan obat tersebut. Saya pun segera istirahat di kamar sambil menunggu reaksi obat tersebut. Pada tengah malam, ketika saya memasuki kamar ayah kami, saya menjadi kaget bukan main. Ternyata ayah kami menjadi lemas seperti tak bertenaga sama sekali. Saya pun menelpon kakak saya untuk datang ke rumah melihat kondisi ayah kami. Saya ceritakan perihal obat yang baru saja saya beli dan minumkan tersebut. Kami pun akhirnya bersepakat untuk menunggu hingga esok pagi. Sungguh saya bersyukur bahwa di pagi hari itu ternyata kekuatan ayah kami pulih kembali. Obat “keramat” itupun tidak lagi saya minumkan.
Ternyata kami tidak lama merawat ayah kami yang terkena stroke dan saraf itu, hanya satu setengah tahun. Di sore hari Rabu, 1 Januari 2020 ayah kami tidak bersedia diberi makan. Kami membujuknya untuk mau disuapi. Tetapi dia menolaknya dan hanya mau diberi minum. Di pagi harinya, ayah kami ternyata tetap tidak bersedia makan. Saya pegang kepala dan badannya, suhu badannya normal dan tidak panas sama sekali. Nafasnya pun biasa saja, tidak terengah-engah apalagi tersengal-sengal sedikitpun. Saya pun menjadi tenang karenanya. Meski demikian, setelah berdiskusi dengan kakak dan isteri saya, bila tetap tidak bersedia makan, kami memutuskan akan membawanya ke rumah sakit di sore hari agar bisa mendapatkan infus. Pada pagi hari itu, sambil mencium kepalanya, saya berpamitan pada ayah kami untuk rapat sebentar di kantor. Ayah kami tidak menjawab, tetapi tersenyum dengan wajah yang sangat cerah. Saya pun menjadi tenang meninggalkannya.
Pada pagi hari itu, saya pun berangkat ke kantor untuk rapat. Kami rapat di Ruang Project Implementing Unit (PIU) UIN Walisongo di Gedung Rektorat Lantai 3 Kampus I Jrakah. Rapat yang dipimpin oleh Prof. Musahadi itu dimulai pada jam 09.00 WIB. Rapat baru berlangsung setengah jam ketika handphone saya berdering. Ketika handphone saya angkat, ternyata isteri saya menelpon sambil menangis mengabarkan bahwa ayah kami telah tiada. Sesaat saya merasakan gelap sekali. Saya pun berpamitan pada forum rapat dan berlari turun menuju mobil. Beberapa orang mengejar saya dan berteriak agar saya jangan pulang sendirian. Saya tetap berlari menuju mobil, tetapi karena pikiran kalut saya menjadi lupa di mana saya memarkir mobil. Ketika akhirnya mobil saya temukan, mas Sugeng, salah satu Kasubag di Bagian Kepegawaian UIN Walisongo, sudah berdiri di dekat mobil itu. Dia bersikeras meminta kunci mobil agar dia yang menyetir mobil dan mengantarkan saya pulang.
Sesampainya di rumah, saya mendapatkan ayah kami telah tiada. Ya, di pagi hari Kamis Pahing, 2 Januari 2020 M yang bertepatan dengan 6 Jumadal Ula 1441 H itu ayah kami telah berpulang. Saya hanya bisa menangis dan menyesal bukan main karena tidak mendampinginya di saat-saat terakhir. Dulu saat ibu saya berpulang pada 29 Oktober 2011, saya mendampingi saat-saat hembusan nafas terakhirnya di rumah sakit. Saya pun selalu berdoa agar bisa mendampingi saat-saat terakhir ayah saya. Ternyata doa dan keinginan saya itu belum bisa dikabulkan. Ayah kami berpulang di hari yang tidak saya duga sama sekali, karena tidak ada firasat atau tanda apapun. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Empat hari setelah pemakaman jenasah ayah kami, saya menghubungi KH Slamet Hambali, guru saya yang sangat ahli dalam Ilmu Falak, untuk mencari tahu konversi Hijriyah untuk hari kelahiran ayah kami. Kepadanya tidak lupa saya sampaikan bahwa ayah kami lahir pada Senin Legi, 10 Mei 1943 M. Jawaban Pak Kiai Slamet Hambali sungguh mengagetkan saya. Hasil konversi hari lahirnya ternyata 6 Jumadal Ula 1362 H.
0 Komentar