Kiai Hanif Muslih Mranggen in Memoriam


Pada bulan Juli 1987 ketika saya mulai “nyantri” di Pesantren KH Murodi Mranggen dan sekolah di Madrasah Aliyah Futuhiyyah (MAF) 2, Kiai Hanif Muslih masih seorang kiai muda yang menjabat sebagai Kepala Madrasah di sekolah tersebut. Waktu itu beliau baru beberapa tahun pulang dari studinya di Saudi Arabia.

Sebagai alumni perguruan tinggi dari negara yang dikuasai oleh Wahabi, pernah ada “sisa-sisa” pemikiran Wahabi yang sempat terbawa Kiai Hanif ke Mranggen. Dalam sebuah forum, dengan mengutip pendapat Imam Syafi’i, beliau mengatakan bahwa doa dan tahlil yang diperuntukkan bagi orang yang telah mati tidak akan sampai pada tujuan, karena setiap orang hanya akan membawa amal kebaikan yang dilakukannya di dunia. Meski hanya mengutip pendapat Imam Syafi’i, tak urung beliau “diserang” oleh para kiai, bahkan juga para-alumni Pesantren Futuhiyyah. Tentu “serangan” para kiai tersebut dilakukan secara halus. Mereka tidak berani menyerangnya secara frontal. Maklum saja, kiai muda ini adalah putra dari KH Muslih Abdurrahman, seorang kiai yang bukan saja “kawentar” memiliki kedalaman ilmu keislaman yang luar biasa, bahkan dalam dunia tarekat pun dijuluki sebagai mahaguru dari para mursyid tarekat (syaikh al-mursyidin).

Setelah mendapat “serangan” tersebut, Kiai Hanif kemudian berbalik mengutip pendapat Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah yang mengatakan bahwa doa yang diperuntukkan bagi orang mati akan sampai. Tidak hanya itu, beliau bahkan kemudian menulis buku berjudul “Tahlil dan Dasar Hukumnya”, sebuah buku yang menjelaskan soal doa dan tahlil yang lengkap dengan dalil dan argumennya. Di sinilah tampak bahwa beliau memiliki kedalaman ilmu yang mumpuni dalam kajian fiqh.

Meski menjabat sebagai kepala madrasah, Kiai Hanif juga ikut mengajar di kelas. Beliau mengajar Mata Pelajaran Akhlaq di kelas saya ketika saya naik di kelas dua. Meski mengajar Mata Pelajaran Akhlaq, tetapi beliau lebih banyak menguji dan menakar kemampuan siswanya dalam bidang Bahasa Arab. Beliau sering menanyakan pada siswanya perihal nahwu dan sharf serta makna-makna kosakata (mufrodat) baru yang sulit ditemukan dalam kitab-kitab klasik. Tidak jarang beliau memberikan hadiah berupa uang pada siswanya yang dapat menjawab pertanyaannya. Saya pernah diberinya uang Rp. 10.000, - (sepuluh ribu rupiah) karena dapat menjawab beberapa pertanyaannya di kelas. Waktu itu lembaran sepuluh ribu rupiah bergambar Kartini adalah satuan uang tertinggi.

Sebagai kepala madrasah, Kiai Hanif waktu itu membuat kebijakan untuk memberikan beasiswa berupa pembebasan SPP (syahriyyah) bagi siswa yang mendapatkan nilai tertinggi di kelas. Meski tidak pintar, saya beruntung sekali bahwa nilai saya masih sedikit di atas nilai teman-teman yang lain, sehingga saya berhak mendapatkan beasiswa tersebut. Itulah yang membuat saya sebagai anak kiai kampung yang miskin tersebut masih bisa bertahan sekolah.
Ketika lulus ujian nasional madrasah pada Juni 1990, Kiai Hanif sebagai kepala madrasah memberikan hadiah pada para siswa yang menduduki sepuluh besar nilai tertinggi di Rayon Kendal, rayon sekolah yang pada waktu itu terdiri dari seluruh Madrasah Aliyah baik swasta maupun negeri dari Kabupaten Kendal, Kabupaten Demak dan Kabupaten Jepara. Ada empat orang alumni Futuhiyyah yang menempati sepuluh besar di rayon tersebut, yaitu Miftahul Huda (MAF 1), Muhammad Maghfur (MAF 2), Rusnadi (MAF 2) dan saya. Beliau memberikan saya hadiah kitab berjudul Fiqh as-Sunnah karya Sayyid Sabiq yang masih saya simpan hingga sekarang. Tentu saya merasa beruntung sekali pernah menjadi murid dari kiai yang memiliki kedalam ilmu, murah hati dan pandai menyemangati santrinya tersebut. Terakhir kali menginjakkan kaki di MAF 2 setelah lulus, saya mencium tangannya bolak-balik di ruang kerjanya sebagai ungkapan rasa terima kasih dan rasa hormat yang tak terhingga.

Setelah lulus dari Futuhiyyah, sambil mengadu peruntungan di luar, saya masih menjaga silaturahmi dengan Kiai Hanif. Saya luangkan waktu untuk sowan padanya setiap kali lebaran Idul Fitri. Saya agak kaget ketika di akhir bulan April 2017 kiai kharismatik yang waktu itu telah menjadi mursyid Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah paling kenamaan di Jawa Tengah tersebut memanggil saya untuk datang ke Pesantren Futuhiyyah. Ternyata beliau meminta saya untuk ikut menjadi salah satu panitia Reuni Akbar Alumni Futuhiyyah lintas angkatan dan lintas jenjang pendidikan. Reuni Akbar Alumni yang digelar pada hari Minggu, 30 Juli 2017 tersebut dihadiri oleh Menkopolhukam Jenderal TNI (Purn) Wiranto dan puluhan ribu alumni. Meski waktu itu saya sedang sibuk dengan segala macam pekerjaan, saya tidak berani menolak permintaan dari kiai yang sangat saya hormati tersebut. Dengan penuh ketaatan dan kesungguhan saya ikut melaksanakan tugas tersebut.

Yang paling saya sesali pada saat itu adalah ketika di depan kelas beliau berjanji akan memberikan uang Rp. 500.000, - (lima ratus ribu rupiah) bagi siapa saja yang bisa menjawab pertanyaan makna bahasa Arab untuk kata “bayi tabung”. Waktu dua menit yang diberikannya untuk menjawab pertanyaan pun berlalu begitu saja. Di kelas tersebut tak ada yang dapat menjawabnya, termasuk saya. Waktu itu saya merasa baru mendengar istilah “bayi tabung” tersebut.

Terakhir kali saya bertemu beliau adalah ketika sama-sama menghadiri undangan untuk Focus Group Discussion yang diselenggarakan MUI Kabupaten Demak pada hari Sabtu, 29 Agustus 2020 di Hotel Amantis. Beliau hadir diantar salah satu putranya, Gus Farouq. Hari itu saya merasa sangat beruntung karena berkesempatan bisa melayani, menuntun ke toilet dan mengambilkan makan dan minum beliau. Setelah itu, saya tidak lagi berkomunikasi dengan beliau hingga pada pada hari Kamis sore, 10 Desember 2020 ketika di banyak media sosial tersiar kabar bahwa beliau berpulang. Rencana bepergian ke luar kota pun saya batalkan untuk ikut bertakziah mengantarkan beliau ke peristirahatan terakhir bersama lautan manusia yang berjubel di komplek Pesantren Futuhiyyah. 

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Sugeng Tindak, Yai. Sampun dipun ditenggo Mbah Kiai Muslih, Mbah Kiai Murodi, Mbah Kiai Ahmad Muthohar, Mbah Kiai Luthfil Hakim soho tiyang-tiyang shalih sanesipun.[]

Posting Komentar

0 Komentar