Kiai Mustain Dhofier Godong in Memoriam

Sayangnya saya hanya berkesempatan setahun saja untuk “nyantri” di Pesantren Salafiyyah Futuhiyyah Karanganyar, Godong Grobogan yang diasuh KH Mustain Dhofier. Sebenarnya saya sudah seringkali merajuk pada kedua orang tua untuk langsung dikirim ke pesantren tersebut setelah lulus SD. Tapi kareana alasan ekonomi, kedua orang tua saya baru meluluskan permintaan tersebut pada tahun 1986 ketika saya telah duduk di kelas 3 SMPN Godong, Grobogan.

Saya memilih pesantren asuhan Kiai Mustain karena dulu ayah saya selama dua tahun juga pernah “nyantri” di pesantren tersebut, sebelum akhirnya meneruskan “nyantri” di Pesantren Kaliwungu Kendal dan Pesantren Mbareng Kudus. Pada tahun 1956, ayah saya “nyantri” di pesantren tersebut, di bawah asuhan ayah dari Kiai Mustain, yaitu KH Dhofier bin Kiai Ridlwan bin Kiai Imron bin Kiai Tafsir Anom bin Kiai Nur Hasan. Ayah saya seringkali menceritakan bagaimana dia selalu dipanggil oleh KH Dhofier untuk bersalaman setiap kali beliau kedatangan tamu spesial, yaitu Mbah Juned (KH Junaidi) dari Yogyakarta yang banyak dikenal sebagai seorang wali. Terkesan akan kealiman Mbah Junaidi itulah yang membuat ayah saya menyematkan nama tersebut di nama belakang saya. 

Di pesantren asuhan Kiai Mustain itulah saya belajar dan mengembangkan pengetahuan dasar-dasar keislaman, melanjutkan apa yang telah saya terima dari ayah saya di rumah. Di pesantren tersebut, saya ikut belajar di Madrasah Diniyyah Wustho di sore hari setelah pulang sekolah dari SMP. Setelah Maghrib saya ikut mengaji Syarah Ibnu Aqil, syarah Alfiyyah Ibnu Malik yang sangat terkenal itu. Selesai sholat Isya’ saya ikut mengaji Kitab Durrot an-Nasihin dan setelah sholat Shubuh mengaji Tafsir al-Jalalain yang dibacakan langsung oleh Kiai Mustain.

Saya senang sekali mengikuti pengajian kitab-kitab yang dibacakan oleh Kiai Mustain, kiai jebolan Pesantren al-Hidayah Lasem, Rembang dan Pesantren Lirboyo Kediri.  Suaranya terdengar sangat merdu saat membacakan ayat-ayat al-Qur’an dan lantang saat berpidato. Penjelasannya sangat gamblang, mudah dipahami dan seringkali diselipi dengan banyak humor. Selain mengaji kitab-kitab di pesantrennya, kiai kelahiran 1951 itu juga aktif menjadi muballigh kondang di kawasan Grobogan. Setelah tidak lagi menjadi juru kampanye dan anggota DPRD Kabupaten Grobogan dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), beliau banyak diundang untuk berceramah di pelosok desa dan kota di kawasan Grobogan dan sekitarnya.

Selain aktif mengaji di pesantren dan berceramah di berbagai daerah, Kiai Mustain juga merupakan mursyid Thoriqoh Qadiriyyah Naqsyabandiyyah. Pada saya Kiai Mustain menceritakan panjang lebar bahwa pada mulanya beliau membuka pengajian Thoriqoh Naqsyabandiyyah Kholidiyyah, melanjutkan pengajian yang telah dibina oleh ayahnya. Sekian tahun beliau membuka pengajian thoriqoh tersebut, ternyata pengajiannya tidak berkembang dan muridnya semakin lama semakin susut. Melihat perkembangan pengajian yang tidak menggembirakan tersebut, beliau memutuskan untuk meminta ijin pada KH Salman Dahlawi Popongan, mursyid utama Thoriqoh Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, untuk beralih membuka thoriqoh yang lain. Ternyata KH Salman Dahlawi mengijinkannya dengan syarat Kiai Mustain masih harus tetap mengamalkan dzikir thoriqoh tersebut. Setelah mendapatkan ijin tersebut, pada tahun 1980 Kiai Mustain “sowan” pada KH Muslih Abdurrahman Mranggen, pengasuh Pesantren Futuhiyyah dan mursyid utama Thoriqoh Qadiriyyah Naqsyabandiyyah. Setelah mendapatkan ijazah irsyad dari Mbah Muslih, Kiai Mustain kemudian membuka pengajian Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah. Pengajian thariqah yang kedua ini ternyata berkembang dengan baik. Muridnya datang dari berbagai daerah di Grobogan dan sekitarnya dan makin hari makin bertambah jumlahnya. Perkembangan thoriqoh ini tampaknya ikut berkontribusi dalam mengangkat reputasi pesantren yang diasuhnya.

Bagi saya, satu tahun memang terasa sangat pendek untuk belajar di pesantren asuhan Kiai Mustain. Pada tahun 1987, saya harus meninggalkan pesantren tersebut untuk melanjutkan studi dan “nyantri” di Mranggen, Demak. Bagaimanapun, saya selalu merasa bahwa dari sedikit ilmu yang saya miliki, sebagiannya saya peroleh dari Kiai Mustain. Karenanya, saya selalu berusaha menjaga silaturrahmi dengan beliau. Meski hanya setahun sekali, selalu saya sempatkan untuk “sowan” beliau. Saat saya “sowan”, beliau selalu memeluk saya setelah saya menyalami dan mencium tangannya.

Beberapa tahun belakangan, kesehatan Kiai Mustain tampak mulai menurun akibat penyakit diabetes yang dideritanya. Penglihatannya menjadi semakin tidak jelas dan sudah barang tentu itu mengganggu kegiatan pengajiannya. Beliau tidak lagi bisa secara aktif mengisi pengajian-pengajian yang selama ini diasuhnya. Hanya pada situasi tertentu beliau mengisi pengajian-pengajian tersebut. Dua tahun yang lalu beliau masih dengan senang hati menyanggupi ketika saya mengundangnya untuk berceramah dalam pengajian yang saya asuh di kampung halaman saya di Mangunrejo, Kebonagung, Demak, meski beliau sudah tidak lagi bisa melihat. Beliau bahkan memaksakan diri untuk bertakziah ketika ayah saya berpulang pada Kamis Pahing, 2 Januari 2020 M/6 Jumadal Ula 1441 H.

Saya kaget bukan main ketika pada Senin, 21 Juni 2021 lalu saya mendapatkan telepon yang mengabarkan bahwa KH Mustain Dhofier telah berpulang pada pukul 13.00 hari itu. Saya pun segera bergegas untuk berangkat takziah dengan harapan bisa memberikan penghormatan untuk keberangkatan jenasah sang kiai. Sayangnya, ketika saya sampai di rumah duka, ternyata jenasah sang kiai telah dikebumikan. Sugeng tindak, Kiai. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa ’fu ‘anhu.[]

Posting Komentar

0 Komentar