Saya tidak pernah bertemu dengan Kiai Supin, simbah saya dari jalur ayah itu. Ia telah berpulang pada tahun 1965, satu tahun sebelum ayah dan ibu saya menikah. Saya hanya mendapatkan penggalan-penggalan cerita lisan yang disampaikan oleh ayah dan pak dhe saya, serta orang-orang tua di kampung saya. Mereka semua bisa bercerita banyak tentang simbah saya itu karena mereka adalah murid-muridnya.
Kiai Supin adalah anak kedua dari Kiai Sutodrono bin Kiai Trunodongso bin Kiai Singojoyo bin Kiai Joyo Semprong. Yang disebut terakhir ini adalah seorang perwira prajurit Kasunanan Surakarta yang memiliki trah Kadilangu. Kiai Joyo Semprong diyakini sebagai orang pertama yang “mbabat” dan membuka sekaligus menjadi lurah pertama Desa Panunggalan (sekarang disebut sebagai Desa Mangunrejo, sebuah desa di Kecamatan Kebonagung Kabupaten Demak). Kiai Joyo Semprong diangkat sebagai lurah karena jasanya ikut membantu Panembahan Wijil Kadilangu memadamkan pemberontakan kelompok berandal Suradipa di wilayah Kendal.
Kiai Supin diperkirakan lahir pada tahun 1900. Ia pertama kali belajar mengaji al-Qur’an pada ayahnya di rumah. Ia kemudian mengaji kitab di sebuah pesantren di Jawa Timur selama beberapa tahun (sayangnya saya tidak mendapatkan informasi apapun tentang nama pesantren dan lokasinya). Setelah beberapa tahun belajar di pesantren tersebut, dia berpindah ke sebuah pesantren di Paiton, Gubug, sebuah pesantren yang secara khusus membekali para santrinya dengan ilmu silat dan ilmu hikmah. Ia merasa perlu membekali diri dengan kemampuan beladiri lahir dan batin karena situasi dan kondisi di desanya yang memang mengharuskannya demikian. Setelah beberapa tahun belajar ilmu kanuragan di pesantren tersebut, Supin pun “boyongan” dan pulang ke kampung halaman.
Supin muda pulang ke kampung halaman di Panunggalan sebagai seorang kiai muda yang pandai mengaji, bersuara bagus pada saat mengaji al-Qur’an dan shalawat Barzanjy, berwajah tampan dan jago beladiri. Sepulang dari pesantren, Kiai Supin mulai mengajar para santri dan pemuda kampung untuk mengaji al-Qur’an, membacakan shalawat Barzanjy dengan diiringi tabuhan rebana (terbang) dan pencak silat. Murid-muridnya yang ingin belajar menabuh rebana dan pencak silat mulai banyak berdatangan, tidak hanya dari desanya, melainkan juga dari desa-desa di sekitarnya.
![]() |
Gambar sekedar illustrasi. |
Ketenaran Kiai Supin sebagai pendekar silat yang handal mulai membuat para jagoan dan bromocorah dari beberapa desa di sekitarnya menjadi penasaran untuk menantangnya bertarung. Ditaklukkannya para jagoan dan bromcorah yang datang menantangnya. Dengan sendirinya dia mulai banyak dikenal sebagai pendekar silat yang tak terkalahkan.
Sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945, masyarakat Jawa memiliki tradisi yang unik. Pada setiap hajatan “mantu” selalu diselenggarakan pertunjukan adu kepandaian silat di atas panggung yang dibuat di depan rumah pemilik hajatan. Biasanya kalau kebetulan yang punya gawe adalah orang kaya, maka dia akan mengundang jagoan yang pilih tanding dari luar. Jagoan yang diundang tersebut akan mengadu ilmu dengan siapapun yang berani tampil di atas panggung.
Mbah Kimin adalah salah seorang paling kaya di Desa Panunggalan. Rumahnya ada di sebelah selatan jalan yang menghubungkan Demak dan Purwodadi. Ketika punya gawe mantu anaknya, dia mengundang seorang jagoan pendekar silat dari Gubug. Dengan mengenakan baju serba hitam dan ikat kepala warna merah Jagoan berperawakan gagah tinggi besar dari Gubug tersebut malang melintang di atas panggung. Dikalahkannya para jagoan yang naik ke panggung untuk bertanding, termasuk beberapa jagoan dari Panunggalan. Setelah tidak ada yang berhasil mengalahkannya, naiklah Kiai Supin ke atas panggung. Dua jagoan itu pun berhadapan mengadu dada. Para warga yang berdesakan menonton tersebut seolah berdegup dan menahan napas ketika dalam satu gebrakan saja Kiai Supin menjatuhkan pendekar dari Gubug itu hingga jatuh pingsan.
Kiai Supin juga banyak diundang dalam hajatan di daerah-daerah lain. Ketika diundang dalam hajatan di seorang juragan kaya di Trengguli, satu desa di Demak, ternyata telah dirancang satu persekongkolan untuk mengeroyoknya di depan umum. Setelah menjatuhkan lawan dalam pertarungan satu lawan satu di atas panggung, belasan orang jagoan ternyata naik panggung hendak mengeroyoknya. Dalam situasi kritis itu tiba-tiba Kiai Supin telah melompat dan berdiri di atas atap rumah juragan kaya itu. Dengan mata merah berkilat-kilat Kiai Supin berteriak menantang para jagoan tersebut untuk naik dan bertarung di atas atap. Para jagoan tersebut rupanya menjadi kecut hatinya dan membubarkan diri satu persatu.
Ketenaran Kiai Supin sebagai pendekar santri yang tak terkalahkan rupanya didengar oleh Raden KH Asnawi, seorang ulama terkenal asal Kudus yang ikut mendirikan Jam’iyyah NU. Ketika punya hajatan mantu anaknya, kiai sepuh yang lama belajar di Makkah ini pun mengundang Kiai Supin untuk bertanding melawan jagoan-jagoan yang datang di atas panggung. Dalam pertarungan babak akhir, Kiai Supin ternyata harus berhadapan dengan seorang perwira Belanda yang juga ikut bertanding. Dalam pertandingan itu, perwira Belanda yang jago beladiri model Eropa tersebut pun takluk dikalahkannya.
Pada tahun 1945, ketika terjadi pertempuran lima hari (15-19 Oktober 1945) di Semarang antara pejuang kemerdekaan Indonesia melawan tentara Jepang, Kiai Supin juga ikut terlibat di dalamnya. Pimpinan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) rupanya telah memperhitungkan bahwa pertempuran akan berlangsung lama dan kalau hanya mengandalkan TKR saja tidaklah cukup. Pimpinan TKR kemudian mengorganisir kekuatan sipil dari seluruh wilayah di Jawa Tengah untuk terlibat dalam pertempuran sengit tersebut. Tiap desa diminta mengirimkan 2 orang yang dipandang mampu dan berani untuk terjun dalam pertempuran yang melelahkan tersebut. Kapten Samurat, pimpinan TKR wilayah Sektor Dempet yang berkedudukan di Pangunggalan, meminta Kiai Supin dan Kiai Setro untuk berangkat ke medan perang. Dari Panunggalan ke Demak, bersama dengan para pejuang lainnya, Kiai Supin dan Kiai Setro diangkut dengan truk. Perjalanan dari Demak ke Semarang mereka tempuh dengan berjalan kaki. Suara bom dan tembakan sudah banyak terdengar ketika mereka sampai di Sayung. Banyak warga sipil yang semula ikut bergabung menjadi terkencing-kencing karena mendengar suara bom dan tembakan yang tak kunjung berhenti dan akhirnya “mbrosot” pulang. Kiai Supin tetap berada di medan tempur hingga pertempuran mereda. Dalam pertempuran tersebut, dia sempat menyelamatkan Kapten Suparto, salah seorang pimpinan TKR, dari hujan peluru yang diberondongkan tentara Jepang.
Untuk kepentingan dakwah, pada bulan Maulid, Kiai Supin menggelar panggung di depan langgar di dekat rumahnya. Dari malam hari setelah pembacaan shalawat Barzanjy tanggal 1 hingga 12 bulan tersebut, para jagoan dari berbagai desa di sekitarnya berdatangan untuk bertarung mengadu ilmu di atas panggung, seperti pencak dor yang banyak digelar di Jawa Timur saat ini. Pertandingan final dilaksanakan pada malam 12 bulan Maulid. Kiai Supin tidak ikut turun gelanggang dalam moment itu, hanya bertindak sebagai wasit saja. Tidak ada yang berani berhadapan dengannya dalam arena adu kepandaian silat tersebut. Kepandaiannya dalam silat dan rebana digunakannya untuk berdakwah di desa tempat kelahirannya. Warga desa yang semula abangan pun mulai mengenal Islam dengan baik. Pada tahun 1965, setelah sakit beberapa hari, Kiai Supin berpulang ke rahmatullah dengan meninggalkan beberapa anak yang kelak ikut meneruskan perjuangannya.
Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Allahumma ghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.[]
0 Komentar