Makam "Keramat" dan Pembelokan Narasi Sejarah

Pada awal Januari 2024 lalu, seorang warga desa sebelah di Demak menemui saya dan menceritakan perihal makam keramat di desanya yang selalu dihauli setiap tahun. Dia menceritakan bahwa warga desanya meyakini bahwa makam itu adalah makam Pangeran Gagak Baning, adik kandung Panembahan Senopati yang mendirikan Dinasti Mataram Islam. Warga desanya meyakini bahwa anak Ki Gede Pemanahan itu dimakamkan di desa tersebut setelah tewas ditusuk keris oleh Sunan Kudus karena dicurigai menyelingkuhi isteri sang wali. Mendengar cerita itu saya hanya bisa mengelus dada. Namun akhirnya saya pun merasa berkewajiban menjelaskannya bahwa yang benar makam sang pangeran tersebut ada di kompleks pemakaman Kotagede Yogyakarta, berdekatan dengan makam sang ayah dan kakak kandungnya. Lagi pula, sang pangeran yang pernah menjadi Adipati Pajang tersebut meninggal pada 1591 M, sementara Sunan Kudus telah meninggal pada 1550 M. Bagaimana bisa orang yang telah meninggal pada 1550 M membunuh orang yang baru meninggal 40 tahun setelahnya?

Gambar sekedar illustrasi.

Pada tahun lalu, seorang kepala desa di Ungaran mengirimkan surat ke Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LP2M) UIN Walisongo Semarang, mengajukan permohonan mengkaji perihal makam tua di desanya. Ketika saya dan beberapa kawan datang ke sana, kami diajak untuk melihat makam tua yang ada di bukit kecil desa tersebut. Sang kepala desa menceritakan bahwa seorang kiai muda yang sering melakukan tirakat di makam tua tersebut mendapatkan bisikan bahwa makam tua itu adalah makam Ki Penjawi, seorang tokoh masa lalu yang mendapatkan hadiah wilayah Pati dari Sultan Hadiwijaya di Pajang setelah bersama Ki Pemanahan dan Sutawijaya dapat mengalahkan Adipati Aria Penangsang dari Jipang Panolan. Sang kiai muda mengatakan bahwa Ki Penjawi meninggal karena sakit setelah menyusul anaknya, Adipati Pragola dari Pati, yang tewas setelah bertempur melawan Panembahan Senopati dari Mataram. Saya sempat memperhatikan model kayu nisan makam tersebut. Dalam taksiran saya, kayu nisan itu adalah model nisan pada akhir abad ke-19 M. Jelas itu bukan makam Ki Penjawi, karena semua sumber sejarah, baik babad maupun sumber sejarah Belanda, menyatakan bahwa makam Ki Penjawi ada di Pati, bukan di Ungaran.

Sementara itu seorang kawan menceritakan dengan bangga bahwa dia secara teratur mengunjungi sebuah makam keramat di Semarang. Dia mengatakan bahwa makam itu adalah makam Habib Hasan bin Thoha bin Yahya yang menurutnya tidak lain adalah KRT Sumodiningrat, panglima perang Kesultanan Yogyakarta pada masa Sultan Hamengkubuwono II. Padahal semua sumber sejarah baik babad, sumber sejarah Barat maupun penuturan keluarga Kesultanan Yogyakarta menyatakan bahwa KRT Sumodiningrat dimakamkan di Jejeran Yogyakarta setelah gugur dalam pertempuran Sepoy di Yogyakarta pada 1812 M. Sang tumenggung gugur setelah dikeroyok oleh ratusan Tentara Sepoy Inggris yang dibantu oleh prajurit Mangkunegaran dalam episode jebolnya Kesultanan Yogyakarta. Lagipula, sang tumenggung adalah orang Jawa asli, bukan orang Arab apalagi habib.

Entah siapa yang memulai, masyarakat Indonesia sekarang tampaknya mulai senang memunculkan makam-makam keramat baru sambil membubuhkan cerita-cerita karangan yang membelokkan narasi sejarah yang sebenarnya terjadi. Ingat! Membuat narasi sejarah tidak bisa hanya didasarkan pada mimpi dan “bisikan gaib”, melainkan harus didasarkan pada sumber-sumber sejarah yang meyakinkan.[]

Posting Komentar

0 Komentar