Sumber: elsaonline.com |
Khazanah perdebatan tentang teori kapan pertama kali Islam masuk di bumi Nusantara diramaikan dengan hadirnya teori baru, bahwa Islam telah masuk di Nusantara pada masa awal perkembangan Islam itu sendiri. Yakni Islam masuk di Nusantara sejak pada masa sahabat Nabi. Penemuan kompleks pemakaman kuno di sebuah bukit kecil yang terletak di Desa Penanggahan, Kecamatan Barus Utara Kabupaten Tapanuli Tengah menjadi basis pijakan teori itu.
Dari dua batu nisan yang paling tua, tertulis bahwa yang dimakamkan tersebut Syaikh Rukunuddin yang wafat pada 48 H dan yang kedua adalah Syaikh Mahmud bin Abdurrahman bin Muadz bin Jabal yang wafat pada 44 H. Dari informasi yang tertulis pada dua batu nisan tersebut, para sejarahwan Islam Indonesia seperti Sirajuddin Abbas, Prof. Hamka dan lain-lain menyimpulkan bahwa penyebaran Islam di Nusantara tidaklah dilakukan oleh para pedagang dari Gujarat, India, Persia ataupun China, melainkan langsung dari Arab.
Masa awal penyebaran Islamnya pun tidak tanggung-tanggung, bukan pada abad ke-12 atau ke-13 M, melainkan pada masa awal perkembangan Islam itu sendiri, yaitu pada masa sahabat Nabi. Hal ini karena dua makam tersebut, begitu mereka mengatakan, adalah makam sahabat Nabi. Maka Islam di Indonesia, kata mereka, pertama kali disebarkan di Barus, Tapanuli Tengah. Itulah yang membuat Presiden Joko Widodo meresmikan sebuah tugu di Barus sebagai Tugu Titik Nol Peradaban Islam di Indonesia.
Tanpa bermaksud membela teori-teori lama yang menyatakan bahwa penyebaran Islam pertama kali di Nusantara berlangsung pada abad ke-12, abad ke-13 atau abad setelahnya, tulisan pendek ini hanya akan mengkritisi teori baru bahwa Islam telah disebarkan di Nusantara oleh para sahabat Nabi pada masa awal perkembangan Islam itu sendiri. Pembacaan cerdas atas informasi yang tertulis dalam dua batu nisan di Barus tersebut harus harus dilakukan untuk mendudukkan persoalan pada tempatnya yang jelas. Ada beberapa hal yang patut dicermati dalam dua batu nisan tersebut.
Pertama, soal nama-nama dan gelar yang tertera di dalamnya. Nama Rukunuddin dan Mahmud bukanlah nama yang lazim ditemukan pada era kenabian dan sahabat. Nama Abdullah, Abdurrahman, Abdul Muthalib dan Abdul lainnya banyak ditemukan pada masa kenabian, sahabat dan tabi’in, bahkan pada masa pra Islam, namun nama Mahmud (bentuk isim maf’ul dari fi’il madzi hamida) dan Rukunuddin (kata rukun yang diidlafahkan pada kata al-din) bukanlah nama yang lazim digunakan pada saat itu.
Sedikit sulit untuk mengatakan bahwa dua nama tersebut adalah nama para sahabat Nabi. Sementara soal gelar “Syaikh” yang dilekatkan pada dua nama tersebut juga menyisakan banyak perdebatan. Tidak ada satu pun para sahabat Nabi, tabi’in dan tabi’i al-tabi’in yang menggunakan gelar Syaikh di depan namanya.
Nama-nama mereka biasanya hanya disebutkan begitu saja, tanpa gelar atau embel-embel apapun, kecuali empat khalifah al-rasyidun yang biasanya namanya diawali dengan al-khalifah al-awwal, al-khalifah al-tsaniy dan seterusnya. Kalaupun ada gelar yang disematkan biasanya menggunakan al-Imam, misalnya al-Imam Ali bin Abi Thalib. Gelar al-Imam ini masih dipakai untuk mengawali nama-nama ulama yang lahir jauh setelah periode sahabat Nabi.
Para Imam mazhab masih menggunakan gelar al-Imam, misalnya al-Imam al-Syafi’i, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan lain-lain. Para tokoh papan atas perawi hadits juga digelari dengan al-Imam, seperti al-Imam al-Bukhary, al-Imam Muslim dan lain-lain. Hampir tak satupun dari generasi sahabat Nabi, tabi’in, tabi’i al-tabi’in dan kalangan ulama dari beberapa generasi setelahnya yang digelari al-Syaikh. Karena gelar Syaikh baru disematkan pada nama-nama ulama pada generasi abad ke-5 H, misalnya Syaikh Abdul Qadir al-Jailany (lahir 470 H). Bila mengikuti alur berpikir ini, maka Syaikh Mahmud dan Syaikh Rukunuddin kemungkinan besar adalah ulama yang lahir setua-tuanya adalah pada abad ke-5 H.
Kedua, jika benar bahwa ada ekspedisi pengiriman para pendakwah dari kalangan para sahabat Nabi atau tabi’in ke Nusantara, tentu ini adalah peristiwa besar yang akan melegenda dan akan banyak dicatat oleh para sejarahwan Islam periode awal. Buku-buku sejarah (kutub al-tarikh) periode awal seperti Sirah Nabawiyyah karya Ibnu Ishaq (abad ke-2 H), al-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad (abad ke-3 H), Sirah Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam (abad ke-3 H), Tarikh al-Rusul wa al-Muluk karya Ibnu Jarir al-Thabary (abad ke-3 H), al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibnu Atsir Abad ke-6 H) tentu akan dengan gamblang menjelaskan secara detail peristiwa besar ini.
Faktanya kitab-kitab sejarah yang banyak mejadi rujukan para sejarahwan tersebut sedikitpun tidak menyinggung soal ekspedisi tersebut. Peristiwa besar tersebut, kalau memang betul itu terjadi, ternyata luput dari perhatian para sejarahwan besar penulis kitab-kitab sejarah yang monumental tersebut. Terlebih, kitab al-Thabaqat karya Ibnu Sa’ad yang menyebutkan 4725 nama sahabat dan tabi’in tersebut ternyata tidak menyebutkan nama Syaikh Mahmud bin Abdurrahman bin Muadz bin Jabal dan Syaikh Rukunuddin sama sekali.
Ketiga, penyebutan nama Syaikh Mahmud bin Abdurrahman bin Muadz bin Jabal juga memunculkan pertanyaan besar. Kitab-kitab sejarah periode awal yang disebutkan di atas banyak menceritakan bahwa Mu’adz bin Jabal adalah salah seorang sahabat Nabi yang sangat cerdas namun tidak berumur panjang. Sebagai sahabat yang sangat cerdas dia sempat diutus oleh Nabi ke Yaman untuk menjadi hakim sekaligus pengajar agama Islam.
Sayangnya, Muadz tidaklah berumur panjang. Dia meninggal di Syam pada tahun 18 H dalam usia muda, 33 tahun, karena wabah yang menjangkiti kawasan tersebut. Dari seluruh keluarganya, dia meninggal yang paling akhir. Sebelumnya, isteri dan tiga orang anaknya, termasuk Abdurrahman, telah meninggal lebih dulu juga akibat wabah tersebut. Abdurrahman bin Muadz tentu masih kecil atau remaja pada saat meninggal pada 18 H itu.
Jadi Muadz bin Jabal meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan satu pun. Lalu siapa sebenarnya Mahmud bin Abdurrahman bin Muadz bin Jabal itu
Keempat, postur dan bentuk dua batu nisan serta tulisan Arab yang terpahat di dalamnya justru menjadi petunjuk penting tentang kapan batu nisan tersebut dibuat. Melihat postur dan bentuk pahatan batu nisan yang ada, jelas sekali bisa dilihat bahwa batu nisan tersebut bukanlah model batu nisan produk peradaban Arab pada masa-masa awal perkembangan Islam. Dalam situs-situs makam tua yang ada di Semenanjung Arabia, sulit sekali untuk menemukan bentuk nisan sebagaimana yang ada di komplelks pemakaman tua di Barus itu.
Batu nisan tersebut tampaknya lebih mirip dengan batu nisan produk peradaban Persia atau India, atau bahkan peradaban Nusantara pada abad ke-14 M. Sementara pada tulisan Arab yang terpahat pada batu nisan tersebut, terdapat titik dan beberapa syakal di dalamnya. Siapapun akan dengan mudah mengetahui bahwa titik dan syakal belumlah dikenal pada masa Nabi dan periode awal masa sahabat.
Pada masa itu tulisan Arab masih “gundulan”, masih berupa huruf-huruf pokok tanpa titik dan syakal yang karenanya seringkali memunculkan kesalahpahaman dalam membacanya. Itulah kenapa sahabat Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H) di akhir masa pemerintahannya memerintahkan Abu al-Aswad al-Du’aly (wafat 69 H) untuk membuat rumusan dan simbol-simbol yang memudahkan pembacaan kalimat-kalimat berbahasa Arab.
Abu al-Aswad al-Du’aly mulai memperkenalkan titik dan syakal dalam bahasa Arab pada kira-kira 42 H. Penggunaan titik dan syakal pada saat itu tentu belum tersebar dan diketahui banyak orang secara massif seperti sekarang ini. Mengikuti logika berpikir ini, agak sulit untuk mengatakan bahwa batu nisan tua di Barus dan tulisan Arab yang terpahat di dalamnya dibuat pada 44 H atau 48 H. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kompleks pemakaman di Barus tersebut adalah pemakaman tua, tetapi tentu tidak setua yang diklaimkan para sejarahwan baru tersebut.
Penulis hanya ingin mengatakan bahwa keagungan dan kebenaran Islam di Nusantara tidak akan ternodai sedikitpun meski kehadirannya pertama kali tidak disebarkan langsung oleh para sahabat Nabi. Kita tidak perlu memaksakan diri untuk mengatakan bahwa Islam disebarkan pertama kali langsung oleh para sahabat Nabi.
Sebagaimana kita juga tidak perlu mengatakan, sebagaimana diklaimkan oleh sebagian orang, bahwa Sahabat Ali bin Abi Thalib pernah berdakwah di Garut, Jawa Barat atau penyebaran informasi sejarah lainnya yang tidak produktif.
Wallahu a’lam bi al-shawab. []
--------
*Tulisan ini sudah pernah dimuat di elsaonline.com - 28 Okt. 2022, dengan sedikit revisi editing.
0 Komentar