Mbah Burhan Godong dan Mbah Liem Klaten: Tukar Salam para Wali

Saya pertama kali mengenal Mbah Burhan Burhan Godong pada tahun 1987, saat saya masih duduk di kelas 3 SMPN Godong dan nyantri di Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Karanganyar Godong yang diasuh oleh KH Mustain Dhofir. Rumahnya hanya sekitar 100 meter dari pesantren yang saya tempati, terletak di antara pesantren dan sungai di pinggir desa di mana saya seringkali mandi.

Pada sore hari di bulan Februari 1987 itu saya baru saja selesai mandi di sungai di pinggiran desa dan hendak kembali ke pesantren. Ketika sedang berjalan ke arah pesantren, seorang lelaki yang sudah agak sepuh memanggil saya sambil tersenyum. Saya yang waktu itu baru sekitar dua minggu nyantri di pesantren tersebut belum mengenal lelaki tersebut. Ternyata dia mengajak saya untuk makan bersama di rumahnya. Saya pun menikmati hidangan nasi hangat dengan sayur bayam, sambal tomat dan dadar telor tersebut. Menu tersebut tentu terasa istimewa bagi saya saat itu. Ketika hendak menyampaikan terima kasih dan berpamitan pulang, lelaki itu meminta saya untuk mengikuti bacaan sebuah ayat yang dia ucapkan. Rupanya saya mendapatkan ijazah darinya. Saya pun pulang ke pondok dan menceritakan pengalaman saya tersebut pada seorang kawan santri yang telah lebih lama tinggal di pondok. Setelah saya tunjukkan rumah lelaki yang mengajak makan dan memberikan ijazah pada saya itu, kawan santri tersebut menjelaskan pada saya bahwa lelaki itu adalah Mbah Kiai Burhan. Saya pun mulai mengamati dan mencari informasi seputar kiai nyentrik tersebut.

Mbah Burhan adalah jebolan Pesantren Futuhiyyah Mranggen yang diasuh oleh KH. Muslih Abdurrahman, seorang mursyid Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah yang dikenal sangat “ngalim” dengan pemahaman ilmu-ilmu keislaman yang “nyegoro”. Saat menjadi santri di Mranggen, Ia mengabdikan dirinya untuk menjadi pelayan “ndalem”. Dia paling suka kalau ditugaskan untuk membersihkan kamar mandi dan toilet rumah Mbah Kiai.

Barangkali karena berkah pengabdiannya pada kiainya, setelah pulang dari pesantren Mbah Burhan dikenal sebagai “orang pintar” yang banyak disowani oleh beragam lapisan masyarakat dengan berbagai macam kepentingan. Dia dikabarkan banyak memiliki karamah dan capaian spiritual yang tinggi, seperti mengubah dedaunan menjadi uang kertas, mengubah tanah liat yang masih basah menjadi logam, mampu menghilang dan lain-lain.

Sumber Gambar: Laduni.id

Meski banyak disowani oleh para tamu dari berbagai kalangan, Mbah Burhan jarang sekali berada di rumah. Para tamu yang hendak sowan harus rela menginap di rumahnya berhari-hari bahkan hingga bulanan. Para tamu yang hendak sowan harus menunggu (“nyanggong”) dengan sabar, karena beberapa kali dikabarkan dia pulang ke rumah langsung masuk kamar kemudian raib entah ke mana. Istrinya sendiri pun tidak tahu ke mana perginya. Para tamu pun kemudian seringkali dibuat “kecelik” karenanya.

Mbah Burhan sering bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain, atau berkunjung ke rumah istri keduanya di Desa Nggapring, Dempet. Kalau bepergian dia biasanya naik bis umum. Saat berada di satu tempat biasanya dia tidak akan tinggal lama, paling lama tiga hari. Soal pakaian, penampilannya jauh dari necis dan modis. Seringkali dia berpakaian warna putih yang sudah agak lusuh dengan sarung “ngeper” yang sudah pasti murah harganya. Cara berpakaiannya pun tidak sebagaimana lazimnya orang lain, berbaju rangkap dua, bahkan kadang rangkap tiga.

Perkenalan saya dengan Mbah Burhan tidaklah dekat, bukan saja karena selisih umur yang sangat jauh, melainkan juga dia jarang berada di rumah tadi. Setelah pertemuan saya di sore hari tersebut, saya hanya sempat bersalaman dengannya sekali di masjid pesantren setelah Jum’atan saat banyak santri dan masyarakat sekitar pondok berdesakan dan berebut salaman dengannya. Saya sendiri juga hanya tinggal di pesantren tersebut selama satu tahun untuk kemudian melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah Futuhiyyah 2 (MAF-2) dan nyantri di Pesantren KH. Murodi, Mranggen, Demak. Saya sudah kehilangan kontak dengannya semenjak nyantri di Mranggen dan kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang pada 1990.

Pada tahun 1994, ketika sebagai mahasiswa melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Ngablak, Kecamatan Wonosegoro Kabupaten Boyolali, saya menyempatkan diri untuk sowan pada Kiai Muslim Rifa’i Klaten, kiai nyentrik yang lagi naik daun saat itu. KH, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum PBNU saat itu, sering menyampaikan di berbagai forum pengajian bahwa kiai asal Klaten tersebut adalah salah satu kekasih Allah yang menjadi jimatnya NU. Sehingga banyak kalangan masyarakat baik pejabat maupun warga lainnya yang berebut sowan kepadanya.

Kepada Mbah Liem, demikian warga Nahdliyyain memanggilnya, saya mohon didoakan agar saya, keluarga dan keturunan saya senantiasa mendapatkan limpahan rahmat dan berkah dari Allah. Saya agak kaget ketika berpamitan pulang, setengah berbisik Mbah Liem bertanya pada saya, apakah saya mengenal Mbah Burhan Godong. Saya pun menjawab bahwa saya mengenalnya. Ternyata kemudian Mbah Liem meminta saya untuk sowan dan menyampaikan titipan salamnya untuk Mbah Burhan. Dengan kalimat-kalimat yang terpatah-patah, Mbah Liem mengatakan pada saya:

Ndang sowano nggone Mbah Burhan. Dhewekne iku kekasihe Gusti Allah. Titip salam ya. (Lekas silaturahmi ke Mbah Burhan. Dia itu kekasih Allah. Titip salam ya...)”

Seminggu setelah selesai KKN, saya memutuskan untuk sowan ke Mbah Burhan di Karanganyar Godong. Dari Semarang saya menuju ke Godong dengan naik bus jurusan Semarang-Purwodadi. Dalam perjalanan di bus itu, saya mencoba mengingat-ingat wajah Mbah Burhan yang telah mulai saya lupakan. Maklum saja, telah hampir tujuh tahun semenjak meninggalkan Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Karanganyar Godong, saya tidak lagi bertemu dengannya. Ingatan saya benar-benar tidak utuh dalam membayangkan kembali wajahnya.

Tanpa terasa perjalanan saya telah sampai di Godong. Saya pun segera turun di halte depan pasar Godong dan selanjutnya berniat untuk naik ojek ke Karanganyar. Pada saat turun dari bus tersebut itulah, seorang lelaki yang sudah sepuh memeluk dan menjabat tangan saya. Saya hanya bengong saja karena tidak merasa mengenalnya. Sementara lelaki sepuh itu segera naik bus dengan tetap berdiri di pintu bus itu. Ketika bus mulai berjalan pelan ke Purwodadi, lelaki sepuh itu setengah berteriak berkata pada saya:

Mas, nitip salam nggo Mbah Liem ya … (Mas, titip salam untuk Mbah Liem ya...)”. 

Mendengar ucapan lelaki sepuh itu saya jadi terperanjat. Mata saya nanar memandang lelaki sepuh yang berdiri di pintu bus yang mulai berjalan itu. Astaghfirullah, saya mulai sadar sepenuhnya. Bukankah lelaki sepuh itu adalah Mbah Burhan yang akan saya sowani itu? Ketika kemudian saya berteriak memanggil namanya, Mbah Burhan hanya tertawa lepas sambil melambaikan tangannya pada saya. Sementara bus terus membawanya menjauh dari saya. Entah mengapa, saya mulai merasakan bahwa para wali Allah itu sedang “mempermainkan” saya dengan bertukar salam di antara mereka.

Allahumma ghfir lahuma, wa rham humaa.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Saya suka cerita uniq Prof Arjun yg "dipermainkan" para waliyullah. Berarti Prof Arjun Wali juga ya. Mohon doakan saya yg baik2 ya Prof, maturnuwun.

    BalasHapus