Pesantren Futuhiyyah dan Mitologi Kekiaian

Futuhiyyah tahun 1970-1971. Sumber: Akun FB Demak Tempo Dulu

Al-marhum al-maghfurlah KH. Agus Maghfur Murod menjadi informan kunci dalam penelitian antropologi saya yang berjudul “Pergeseran Mitologi Pesantren: Akar, Pola dan Fungsi Karomah Kiai di Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak”. Beliau menjadi salah satu pintu masuk saya untuk menggali dan mengkonfirmasi kisah-kisah “suci” dalam tradisi pesantren yang terletak di sebelah timur Kota Semarang tersebut.

Kalangan Pesantren Futuhiyyah meyakini bahwa selain membekali diri dengan penguasaan ilmu-ilmu keislaman yang sangat dalam dan luas, para pendiri dan pengasuh pesantren tersebut juga banyak memiliki karamah, sebuah capaian spiritual yang melampaui pengalaman manusia pada umumnya. Kemampuan adikodrati tersebut diperlukan dalam mengembangkan pesantren yang pada umumnya berdiri di kawasan-kawasan yang sangat rawan akan gangguan para bromocorah dan berandal desa.

Kalangan pesantren tersebut meyakini bahwa KH. Abdurrahman bin Qasidil Haq, pendiri pesantren tersebut, memiliki reputasi spiritual yang luar biasa. KH. Abdurrahman bin Qasidil Haq adalah murid kesayangan KH. Ibrahim bin Yahya dari Brumbung, Mranggen. KH. Ibrahim bin Yahya sendiri adalah murid langsung dari SyaiKH. Abdul Karim al-Bantany, pengembang Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah di Nusantara yang dianggap sebagai pemicu terjadinya pemberontakan petani Banten terhadap kolonial Belanda pada tahun 1888 M. KH. Ibrahim bin Yahya memiliki cara tersendiri untuk menentukan siapa di antara muridnya yang paling layak untuk diangkat sebagai mursyid Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Waliyyullah dari Brumbung tersebut mengajak semua murid tarekatnya untuk berjama’ah sholat shubuh di masjid lingkungan pesantren. Namun ketika semuanya sedang khusyu’ melaksanakan jama’ah sholat tersebut, seekor ular besar tiba-tiba muncul di tengah-tengah jama’ah. Jama’ah pun menjadi kocar-kacir dan lari tunggang langgang meninggalkan masjid. Hanya ada dua orang saja yang masih tinggal dengan khusyu’ melaksanakan jama’ah hingga selesai seolah-olah tidak terjadi sesuatu pun, yaitu KH. Ibrahim bin Yahya dan KH. Abdurrahman bin Qasidil Haq. Itulah mengapa sang guru pun mengangkat Abdurrahman muda yang kelak menjadi cikal bakal berdirinya Pesantren Futuhiyyah tersebut sebagai mursyid tarekat.

Kalangan Pesantren Futuhiyyah juga meyakini bahwa KH. Usman, putra sulung KH. Abdurrahman bin Qasidil Haq, sebagai kiai yang memiliki kemampuan karamah yang luar biasa. Masa-masa pengembangan pesantren, kiai yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam beladiri pencak silat itu harus berhadapan dengan para bromocorah yang mencegatnya di tengah jalan sepulang dari kegiatan dakwah di desa-desa sekitarnya. Betapa pun tinggi ilmu beladiri pencak silat yang dimilikinya, namun berhadapan dengan puluhan bromocarah yang bersenjata membuatnya terdesak. Dalam kondisi terdesak itulah sang kiai mengeluarkan karamah yang dimilikinya. Surban yang dipergunakannya sebagai senjata itu konon mampu mengeluarkan semburan-semburan api yang membuat puluhan bromocorah itu kocar-kacir kalah dan meminta untuk dijadikan santri.

Sementara KH. Muslih, adik kandung KH. Usman, dikenal memiliki kemampuan penguasaan ilmu-ilmu keislaman yang sangat dalam dan luas. Tak hanya itu saja, sang kiai juga dikabarkan memiliki karamah yang luar biasa. Konon karena capaian reputasi spiritual yang dimilikinya, sang kiai pernah bertemu dengan Nabi Khidlir, seorang nabi yang dalam kalangan muslim tradisional dipercaya masih hidup hingga sekarang. Nabi yang konon banyak berkelana mengarungi dalamnya samudera dan luasnya daratan di muka bumi ini menemui sang kiai sebanyak tiga kali. Pertama kali pertemuan tersebut berlangsung di rumah sang kiai ketika sang nabi bertandang ke lingkungan pesantren tersebut. Pertemuan kedua dan ketiga berlangsung di Babussalam, salah satu pintu masuk di Masjidil Haram yang konon dilewati Nabi Muhammad saat melaksanakan haji wada’. Dalam kalangan pesantren, hanya beberapa kiai saja di Jawa yang dikabarkan pernah bertemu dengan Nabi Khidlir, di antaranya adalah KH. Kholil Bangkalan, KH. Hamid Pasuruan, KH. Dalhar Watucongol dan KH. Muslih Mranggen sendiri.

Sementara KH. Murodi, adik kandung KH. Usman yang lain, juga dipercaya memiliki karomah yang luar biasa sejak masih muda. Dikabarkan bahwa pada masa perang kemerdekaan, di Semarang Barat, para pejuang menangkap seorang perempuan yang melakukan kegiatan spionase untuk kepentingan tentara Belanda. Ketika hendak diekskusi mati, tidak satu pun senjata api maupun senjata tajam yang mempan di tubuh perempuan tersebut. Murodi muda-lah yang diminta oleh KH. Muslih untuk mengeksekusi perempuan yang menjadi mata-mata Belanda tersebut. Dengan berang (semacam golok yang biasanya digunakan untuk menyembelih binatang) yang dipanaskan dengan bara api, Murodi muda menyembelih perempuan yang kebal senjata tersebut. Perempuan mata-mata itupun mati dengan darah yang bersimbah di lehernya. KH. Murodi juga dikabarkan pernah mengalami sembilan kali jadzab, suatu tahapan proses menuju kewalian. Pada saat jadzab tersebut, kiai yang hanya makan nasi sisa makan para santri yang berceceran tersebut dikabarkan mampu berkomunikasi dengan binatang. Sang kiai juga dikabarkan mampu menundukkan jin, sebangsa makhluk halus yang dikenakan taklif sebagaimana halnya manusia. Sang kiai yang tidak lain adalah ayah kandung KH. Agus Maghfur tersebut memanfaatkan para jin untuk ikut tinggal dan menjaga pesantren. Para santri seringkali bercerita tentang bagaimana mereka sering digoda dan diledek oleh makhluk kasat mata tersebut. Dan, yang paling tidak enak terdengar di telinga saya adalah bahwa para jin tersebut dipimpin oleh pemimpinnya yang namanya mirip dengan nama terakhir saya, “Junaidi”.

Posting Komentar

0 Komentar