Pudarnya Ilmu Santet di Pedesaan Jawa: Sebuah Catatan Etnografis

Sekedar illustrasi. Sumber Gambar: Indian.com

Cara terakhir untuk menaklukan lawan yang biasa ditempuh oleh warga pedesaan di masa lalu adalah santet. Santet merupakan cara yang digunakan untuk menyerang lawan dari kejauhan dengan laku spiritual tertentu. Sang pengirim santet bisa melakukan penyerangan terhadap lawannya dengan melaksanakan sendiri laku spiritualnya atau menggunakan jasa dukun santet dengan membayar sesuai harga yang telah disepakati. Orang yang tidak memiliki landasan spiritual yang kuat akan dengan mudah menjadi sasaran ilmu santet, apalagi bila santet yang dikirimkan adalah jenis santet yang sangat mematikan. Sementara orang yang memiliki landasan spiritual yang sangat tinggi akan dengan mudah memukul balik ilmu santet yang dikirimkan untuk menyerangnya.

Sebagaimana ilmu spiritual lainnya, ilmu santet didapatkan dengan berguru pada orang yang benar-benar telah menguasainya. Meski banyak orang yang mengaku memiliki jenis ilmu ini, namun dalam kenyataannya tidak banyak orang yang benar-benar mampu menguasainya. Orang yang tidak memiliki landasan spiritual yang kuat maka ilmu santet yang dikirimkannya akan dengan mudah dipatahkan. Maka seorang guru yang menguasai ilmu santet tidak akan sembarangan menerima murid yang datang padanya. Dia akan melakukan pengamatan spiritual untuk memutuskan apakah seseorang yang datang padanya layak untuk diterima atau tidak sebagai murid.

Ada banyak macam laku spiritual yang biasa ditempuh oleh seseorang untuk membangkitkan dan menguasai ilmu santet. Ada yang melakukannya dengan cara berpuasa mutih, sebuah laku puasa di mana selama waktu yang ditentukan dia harus berpuasa dengan hanya mengkonsumsi nasi dan air putih. Puasa ini biasanya akan diakhiri dengan cara ngebleng, di mana dia tidak bolehkan makan, minum dan tidur selama sehari semalam. Ada juga yang melakukannya dengan tapa pendem, di mana dia akan dikubur hidup-hidup dalam jangka waktu tujuh, dua puluh satu atau empat puluh hari. Kuburan yang biasanya dibuat dalam sebuah rumah itu hanya diberi lubang kecil untuk bernapas dan memasukkan tali yang diikatkan pada tangan pelaku puasa yang dikubur. Tali tersebut digunakan untuk memastikan dari luar apakah yang dikubur masih hidup atau telah mati. Bila tali yang ditarik dari luar itu tidak mendapatkan respon sama sekali dari dalam kubur, maka biasanya yang dikubur telah mati.

Perangkat dan media yang digunakan dalam laku ilmu santet pun bermacam-macam, misalnya jarum, paku atau logam-logam tajam lainnya. Ada juga yang menggunakan kembang setaman, sebutan untuk bunga-bunga beragam yang dicampur jadi satu. Ada juga yang menggunakan golek lemah, tanah liat yang dibentuk menyerupai boneka yang dibakar dalam bara api dan ditusuk-tusuk dengan jarum. Sedangkan waktu melaksanakan ritual ilmu santet biasanya di tengah malam hari Jum’at Wage.

Beratnya laku spiritual yang dilakukan seseorang ikut menentukan reputasinya dalam penguasaan ilmu santet. Reputasi seorang dukun santet merentang dari level yang paling rendah yang hanya mampu menghantam lawan-lawan yang tidak memiliki landasan spiritual yang kuat hingga level yang paling tinggi yang tidak pernah gagal menaklukkan lawan-lawannya. Orang yang telah benar-benar menguasai ilmu santet biasanya mendapat gelar Kiai Samber Nyawa, sebuah gelar tidak formal yang diberikan untuk menggambarkan bahwa dia dapat menyambar nyawa siapa saja yang diinginkannya.

Meski saya telah mewawancarai sekian banyak orang yang dikabarkan menguasai ilmu santet, tetapi lewat tulisan pendek ini saya hanya ingin menceritakan dua orang yang mendapatkan gelar Kiai Samber Nyawa, sebuah gelar yang disematkan pada orang yang menguasai ilmu santet kelas tinggi dan telah banyak memakan korban.

Yang pertama adalah Mbah Surowijoyo (biasa dipanggil Mbah Suro), seorang dukun santet yang sangat terkenal asal Desa M, sebuah desa di pinggiran Kabupaten Demak yang berbatasan dengan Kabupaten Grobogan. Saya tidak pernah bertemu dengannya karena dia telah meninggal pada tahun 1955, sekitar 15 tahun sebelum saya lahir. Saya mengetahui reputasinya dalam ilmu santet dari cerita-cerita yang saya dengar dari almarhum ayah saya dan orang-orang tua di kampung saya. Rumahnya memang terletak di samping rumah almarhum ayah saya. Saya juga banyak mendengar cerita soal reputasi spiritualnya dari almarhumah Mbah Supar, janda tua yang tidak lain adalah isteri Mbah Surowijoyo sendiri.

Mbah Suro diperkirakan lahir pada tahun 1885 M. Tidak diketahui asal kelahirannya. Dia belajar ilmu santet dari seorang guru di Singapura. Dia dikabarkan mampu menundukkan sepuluh orang yang membegalnya di toang (tempat yang sepi di malam hari) di jalan antara desa tempatnya tinggal dengan Godong, sebuah kota kecamatan di wilayah Kabupaten Grobogan. Rumahnya dijaga oleh dua ekor macan kumbang yang diyakini masyarakat sekitarnya bukan binatang yang sebenarnya, melainkan makhluk halus yang telah dia taklukkan dan mengabdi kepadanya. Banyak tetangga dan warga sekitarnya, termasuk ayah saya yang waktu itu masih kecil, mengaku melihat langsung dua ekor macan kumbang tersebut. Dua ekor macan kumbang tersebut seringkali menggoda para tamu atau tetangga yang datang ke rumah tuannya.

Mbah Suro menguasai ilmu santet yang dia namai Singa Lodra, sebuah nama yang bisa jadi dikaitkan dengan tempat dia memperoleh ilmu santet tersebut. Singa adalah binatang buas yang sering kali digelari si raja hutan. Sementara Lodra kemungkinan berasal dari ludira yang berarti darah. Singa Lodra mungkin maksudnya adalah singa sang raja hutan yang banyak menumpahkan darah. Ya, ilmu santet yang dikuasainya memang banyak menumpahkan darah.

Sebagaimana lazimnya dukun santet, Mbah Suro sering menampakkan roman wajah sinis dan kurang bersahabat. Dia suka memakai peci warna merah yang sudah agak kumal, bajunya hampir selalu berwarna putih dengan sabuk kain berwarna hijau. Wajahnya nampak sangat tidak ramah pada tetangga dan warga sekitarnya. Dia hanya bersikap ramah pada Kiai Supin, ayah dari ayah saya, salah seorang tetangganya yang dikenal sebagai pendekar silat tak terkalahkan yang memiliki banyak murid di desa-desa sekitarnya. Karenanya tidak banyak yang berani bertandang ke rumahnya. Kalau warga sekitarnya memiliki hajat kepadanya maka mereka akan menyampaikannya lewat Kiai Supin.

Sebagai dukun santet profesional, Mbah Suro banyak menerima para tamu yang menjadi kliennya. Mereka berdatangan ke rumahnya untuk menyantet orang-orang yang menjadi musuhnya. Mereka biasanya datang dengan membawa nama, asal daerah, weton kelahiran musuh atau lawannya dan tentu saja juga sejumlah uang sebagai mahar yang harus dibayarkan. Mereka berdatangan dari Sabtu pagi hingga Rabu sore. Pada hari Kamis dia tidak menerima tamu karena hari itu digunakannya untuk persiapan ritual yang harus digelarnya pada tengah malam Jum’at. Sang dukun santet tersebut memang selalu melaksanakan ritual santetnya pada tengah malam Jum’at. Di tengah malam Jum’at itu dia akan keluar di halaman rumahnya untuk melepaskan santet melalui media jarum-jarum kecil. Setiap jarum akan dilepas dan melesat ke arah rumah dan daerah tempat tinggal orang-orang yang akan disantet. Setiap jarum yang dilepaskan mengeluarkan sinar kuning kebiruan dan suara desingan yang bisa dilihat dan didengar oleh warga kampung. Seminggu kemudian para tamu tadi akan berdatangan kembali ke rumah sang dukun untuk mengabarkan bahwa mereka yang disantet telah mati.

Mbah Suro tidak mau mengangkat murid untuk mengajarkan ilmu santetnya. Ia hanya mengajarkan ilmu santetnya pada Mbah Kasno, salah seorang anak laki-lakinya, dengan satu syarat tidak akan mengajarkan ilmu santet tersebut pada orang lain hingga Mbah Suro meninggal. Tetapi tampaknya sang anak yang waktu itu masih berumur lima puluh tahunan belum siap secara psikologis. Ia memamerkan ilmu santetnya pada banyak orang dan bahkan mengajarkannya pada beberapa orang yang diangkatnya sebagai murid. Ini adalah sebuah pelanggaran atas pantangan yang mengakibatkan Mbah Suro murka. Dia pun menghukum anaknya tersebut dengan hukuman spiritual yang sangat mematikan. Sang anak yang terkena kutukan ayahnya pun sakit parah selama hampir dua bulan. Setelah hampir dua bulan sakit parah, sang anak memohon ampun pada ayahnya atas pelanggaran pantangan yang dilakukannya. Sehari setelah Mbah Suro memaafkan, anak laki-lakinya itu pun meninggal.

Setelah anak laki-lakinya meninggal, Mbah Suro tidak lagi menurunkan ilmu santetnya pada orang lain. Ilmu santetnya pun hilang bersamaan dengan meninggalnya sang dukun santet pada tahun 1955. Orang-orang tua di kampung menceritakan bagaimana di hari meninggalnya sang dukun santet hujan deras mengguyur desa seharian setelah pemakamannya. Mereka pun semakin yakin akan kesaktian sang kiai Samber Nyawa tersebut.

Yang kedua adalah Mbah Setro, seorang dukun santet yang paling ditakuti asal Desa K, sebuah desa terpencil di pedalaman Kabupaten Demak. Saya beruntung masih sempat bertemu dan berkomunikasi dengan lelaki tua tersebut pada tahun 1993. Pada mulanya dia menolak untuk menceritakan soal ilmu santet yang dimilikinya. Namun setelah saya menyebutkan nama Kiai Supin, kakek saya yang pernah menjadi gurunya dalam ilmu silat dan mengaji, dia tertegun dan akhirnya mau berterus terang tentang segalanya. Pada saya, Mbah Setro mengaku telah bertobat dan tidak lagi mengamalkan ilmu santet yang pernah membuatnya sangat terkenal dan digelari Kiai Samber Nyawa. Dia telah merasa banyak berdosa dan akhirnya berbai’at menjadi jama’ah Tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah.

Mbah Setro lahir pada tahun 1931. Sebagaimana lazimnya anak kampung pada jamannya, hari-harinya dihabiskan untuk kegiatan belajar mengaji dan bertani. Pada masa awal dia mengarungi bahtera rumah tangganya, semuanya berjalan dengan wajar dan bahagia. Sampai suatu hari, isterinya berselingkuh dengan seorang perangkat desa. Pada saat itu, perangkat desa merupakan figur yang sangat ditakuti bukan saja kareana jabatan dan kekayaannya, melainkan juga karena memiliki jaringan luas dengan para berandal desa yang setiap saat bisa digerakkan untuk mengeroyok siapa saja yang menjadi lawannya. Dia merasa sangat dendam dengan perangkat desa tersebut, namun untuk berhadapan dengannya secara langsung, dia harus berpikir seribu kali.

Dendan kesumat yang membakar hatinya membawanya pergi berkelana keluar dari desanya. Dia pun mulai “njajah deso milang kori,” berkelana dari satu daerah ke daerah lainnya. Tujuannya adalah mencari guru-guru sakti di daerah-daerah di Jawa Timur. Setelah sekian lama mencari guru di berbagai kawasan, akhirnya dia sampai di Sumenep Madura. Di sana dia berguru pada Kiai Makruf, seorang kiai yang menguasai ilmu santet. Ilmu santet yang diterimanya dari Kiai Makruf bernama Santet Setan Kober, sebuah nama yang meminjam nama keris pusaka andalan Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan yang sangat terkenal itu. Untuk menguasai ilmu santet yang sangat mematikan itu, laku yang harus dijalaninya adalah puasa mutih selama empat puluh hari dan harus berakhir pada malam Jum’at Wage. Pada hari terakhir dia harus melaksanakan laku ngebleng, sehari semalam tidak makan, tidak minum dan tidak boleh tidur. Selama berpuasa, dia harus merapal mantra-mantra yang diajarkan.

Setelah hampir dua tahun berguru ilmu santet di pulau garam tersebut, Mbah Setro pun pulang ke kampung halamannya. Hal pertama kali yang dilakukannya setelah sampai di kampung halamannya adalah menumpahkan dendam kesumat yang selama sekian waktu membakar hatinya. Dia pun mulai menyantet sang perangkat desa yang telah menyelingkuhi isterinya dan beberapa anak buahnya. Dia juga menyantet isterinya yang telah mengkhianatinya. Dia pun mulai terkenal dan menjadi dukun santet profesional. Dia mulai banyak menerima tamu-tamu yang datang kepadanya untuk menggunakan jasanya menyantet siapa saja yang dikehendaki. Semua yang disasarnya pun mati muntah darah. Ya, semua yang disasarnya mengalami ciri-ciri yang sama: muntah darah. Dia pun mendapatkan gelar Kiai Samber Nyawa, orang yang mampu menyambar nyawa siapa saja yang dikehendakinya.

Tidak ada peristiwa spesifik yang membuatnya sadar untuk mengakhiri praktik ilmu santet yang dikuasainya. Dia hanya bermimpi bahwa Kiai Makruf mendatanginya dan memintanya mengkhiri aktivitas “ilmu hitam”nya. Perlahan-lahan dia pun mulai mengakhiri praktiknya dan menolak para tamu yang hendak menggunakan jasanya. Di hari-hari tuanya, dia pun mulai ikut mengaji dan berbai’at Tarekat Qodiriyyah Naqsyabandiyyah.

Mbah Setro tidak mengajarkan ilmu santet Setan Kober yang dikuasainya kepada anak-anaknya. Pada satu sisi dia merasa telah banyak berdosa karena menghabisi sekian banyak nyawa, sementara pada sisi yang lain dia tidak ingin ilmu andalannya punah. Karena itulah dia hanya menurunkan ilmunya pada satu orang saja yang dia yakini tidak akan menggunakannya untuk kepentingan yang salah. Ya, pelan tapi pasti ilmu santet pun mulai pudar kharismanya di pedesaan Jawa dan nyaris tak berbekas.[]

---------
* Tulisan ini pernah dimuat di elsaonline.com - 12 Okt. 2022, dengan beberapa revisi editing.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Tulisan yang lengkap. Lanjut ditelusuri juga ilmu serupa di daerah lain, dengan pelaku yang berbeda pula. Agar makin lengkap penelusuran anda

    BalasHapus