Ritual yang Menggetarkan: Catatan Perjalanan Haji (1)


Saya dan istri baru bisa berkesempatan menunaikan ibadah haji pada tahun 2014. Bukan karena tidak menjadikan haji sebagai prioritas utama, melainkan karena saya harus berdamai dengan situasi. Gaji saya sebagai pegawai negeri sipil tidaklah cukup untuk melaksanakan haji setiap saat. Di samping itu, saya harus lebih dahulu membiayai ibadah haji bapak saya, seorang kiai kampung yang tidak memiliki penghasilan sama sekali kecuali dari hasil dua petak sawah yang tidak seberapa. Saya bahkan tidak sempat membiayai ibu saya untuk berhaji karena keburu berpulang akibat penyakit gula yang dideritanya. Satu hal yang membuat saya menyesal seumur hidup.

Saya tidak sempat mengikuti manasik haji karena pada saat yang sama harus mengikuti Training on Good University Governance di Belanda. Meski tidak pernah mengikuti manasik, Kementerian Agama Kota Semarang menugaskan saya menjadi Ketua Rombongan 4 Kloter 17 SOC 2014 -- betapa pun saya telah berusaha menolaknya.

Pada pagi hari Sabtu, 6 September 2014 saya sempatkan shalat sunnah safar bersama istri di rumah, sementara para kerabat dari kampung dan tetangga rumah telah berkumpul di luar. Pada pagi hari itu, saya gagal bertahan untuk tidak menangis saat adzan dan shalawat dilantunkan menjelang keberangkatan saya. Lantunan suara adzan dan shalawat telah mengaduk-aduk perasaan dan emosi saya dan istri. Bapak, anak-anak, tetangga dan kerabat dari kampung juga menangis sambil memeluk dan menciumi tangan saya dan istri. Seolah-olah kami berdua tidak akan pernah kembali dan bertemu mereka lagi.

Sehari semalam kami berada di Asrama Haji Donohudan, Boyolali untuk istirahat, cek kesehatan, pembagian uang bekal harian (daily allowance) dan dokumen perjalanan haji. Pada hari Minggu, 7 September 2016 pukul 16.45, kloter kami, yaitu Kloter 17 SOC 2014, take off dengan penerbangan GA 6025 dari Bandara Adisumarmo Solo menuju tanah suci dengan terlebih dahulu transit selama satu jam di Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Padang, Sumatera Barat.

Pada menjelang tengah malam, kami mendarat di Bandara King Abdul Aziz Jeddah, Saudi Arabia. Pemeriksaan visa dan bagasi di Bandara memakan waktu agak lama karena kebanyakan petugas imigrasi belum bekerja secara profesional. Saya bisa membandingkannya setidak-tidaknya dengan pemeriksaan imigrasi di beberapa negara yang pernah saya singgahi seperti Malaysia, Singapore, Australia, Belanda dan Austria. Di bandara Jeddah tersebut, tidak bisa diidentifikasi berapa rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk memeriksa keaslian dan kelengkapan dokumen untuk masing-masing jamaah haji. Di tengah pemeriksaan imigrasi, kadang-kadang petugas imigrasi “ngeloyor” pergi begitu saja hanya untuk bergurau dengan petugas lain. Yang tidak membuat nyaman adalah (mohon maaf) tatapan “nakal” mereka terhadap para jamaah haji perempuan. Saya hanya bisa memakluminya karena mungkin yang biasa mereka lihat adalah perempuan-perempuan dengan pakaian yang serba hitam yang menutupi seluruh anggota badan kecuali mata.

Setelah pemeriksaan dokumen selesai, kami diberangkatkan ke Madinah dengan bis yang tidak bisa dibilang sehat. Perjalanan dari Jeddah ke Madinah yang mestinya ditempuh selama enam jam terpaksa molor menjadi lebih dari 11 jam karena beberapa kali mogok di tengah jalan. Saya urungkan keinginan untuk protes ketika Ali, sopir bis asal Mesir itu menjelaskan pada saya bahwa seluruh armada bis, baik yang masih bagus maupun yang tidak lagi sehat, dikerahkan untuk mengangkut jutaan jamaah haji dari berbagai negara yang membanjiri Saudi Arabia. Selama perjalanan darat dari Jeddah ke Madinah tersebut, saya hampir tidak tidur sama sekali. Meski di malam hari, tampak jelas bagaimana jalanan yang kami lewati hanyalah jalanan tandus yang hampir tanpa pepohonan di kanan kiri jalan. Bukit-bukit berbatu cadas yang menyeruak di tengah hamparan padang pasir cukup membuat saya paham akan betapa kerasnya kehidupan masyarakat Arab. Mendadak saya membayangkan bagaimana rasanya ketika Nabi bersama para sahabatnya berhijrah dari Makkah ke Madinah seribu empat ratusan tahun silam. Perjalanan yang sangat jauh melewati hamparan padang pasir dan bukit-bukit berbatu di tengah ancaman orang-orang kafir Quraisy pasti merupakan perjalanan yang maha berat. Hanya orang-orang perkasa dan visioner seperti Nabi Muhammad dan para sahabatnya sajalah yang mampu melewati ujian yang sangat dahsyat itu. (Bersambung).

Posting Komentar

0 Komentar