Sensasi Pesantren Swalayan: KH. Ishaq Ahmad in Memoriam

Sumber Gambar: mediatajam.com

Meski masing-masing berdiri sendiri, semua pesantren yang berjajar di Kampung Suburan Mranggen, Demak merupakan satu kesatuan yang utuh. Setidak-tidaknya itulah kesan yang saya tangkap dalam rentang waktu tiga tahun (1987-1990) selama saya belajar di kota santri sebelah timur Kota Semarang tersebut

Walaupun letaknya berdekatan, pesantren-pesantren tersebut tidak saling berkompetisi, melainkan saling mengisi. Maklum saja, semua pengasuh pesantren tersebut memiliki bukan saja hubungan kekerabatan, melainkan juga hubungan genealogi pemikiran dan garis keguruan yang bersumber pada KH. Muslih Abdurahman, pendiri Pesantren Futuhiyyah yang juga mahaguru dalam kajian-kajian keislaman klasik yang menjadi salah satu rujukan para kiai dan santri di Indonesia.

KH. Makhdum Zain (Pengasuh Pesantren Al-Mubarok) dan KH. Muhammad Ridlwan (Pengasuh Pesantren Al-Amin) adalah menantu sang mahaguru, KH. Luthfil Hakim dan KH. Hanif Muslih (Pengasuh Pesantren Induk Futuhiyyah) adalah putra sang mahaguru, KH. Ahmad Muthohar (Pengasuh Pesantren Ndalem Darul Ma’wa} adalah adik kandungnya, KH. Agus Maghfur Murod dan KH. Abdul Kholiq Murod (Pengasuh Pesantren KH. Murodi) adalah keponakannya sang Kiai, KH. Muhibbin (Pengasuh Pesantren Al-Badriyyah), KH. Abdul Basyir (Pengasuh Pesantren An-Nur) dan KH Ishaq Ahmad (Pengasuh Pesantren Roudlatul Muttaqin) adalah murid-murid utama sang kiai yang dipercaya banyak memiliki karamah tersebut.

Relasi saling mengisi antar pesantren di Kampung Suburan Mranggen tersebut di antaranya tampak dalam kebebasan para santri dalam memilih untuk mengaji kitab-kitab kuning yang diinginkannya. Ibarat toko swalayan di mana para pembeli bebas mengambil barang dagangan dan produk yang diinginkan, para santri Mranggen juga menikmati kebebasan “ngaji swalayan” tersebut. Seorang santri bisa mengaji kitab kuning tidak hanya di pesantren di mana dia tinggal, melainkan juga bisa mengaji di pesantren-pesantren yang bersebelahan tersebut.

Sensasi “pengajian swalayan” inilah yang juga ikut saya nikmati selama tiga tahun menjadi santri di Mranggen. Sebagaimana santri yang lain, saya juga tidak ingin menyiakan kesempatan emas tersebut secara percuma. Sebagai santri yang tinggal di Pesantren KH. Murodi, saya menghabiskan waktu setelah subuh untuk mengaji pada KH. Agus Maghfur Murod (Pengasuh Pesantren KH. Murodi) yang membacakan Tafsir al-Jalalain, Kitab Tafsir Ijmaly karya Syaikh Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally. Penjelasan kiai yang terdengar lantang dan gamblang ini bukan saja membuat para santri tidak bisa mengantuk, melainkan juga membuat para santri manggut-manggut meresapinya.

Pada pagi hingga siang hari, saya menikmati pembelajaran formal di Madrasah Aliyah Futuhiyyah (MAF) 2. Pada pukul 14.00, meski seringkali mengantuk di waktu-waktu kritis tersebut, saya menyempatkan diri mengaji pada KH. Ahmad Muthohar (Pengasuh Pesantren Ndalem) yang membacakan Al-Muhadzdzab karya Al-Syirazy. Kiai yang dikenal memiliki ilmu laduni ini mengaji dengan suara pelan sehingga harus mendengarkannya dengan seksama. Setelah berjama’ah sholat ashar, saya mengaji pada Ustad Halimi (Lurah Pondok Pesantren KH. Murodi) yang tampaknya lebih senang menyajikan model tematik untuk materi nahwu dan sharaf.

Setelah Maghrib saya ikut berbondong-bondong datang ke Masjid Pesantren Futuhiyyah untuk mengikuti pengajian kitab Syarh Ibn ‘Aqil yang dibacakan oleh KH. Luthfil Hakim (Pengasuh Pesantren Futuhiyyah). Pengajian salah satu “kitab pamungkas” dalam ilmu nahwu ini tampak heboh karena selalu diawali dengan “lalaran” nazhom Alfiyah Ibn Malik yang dibacakan para santri sambil menunggu kehadiran Yi Kim, panggilan akrab KH. Luthfil Hakim. Beberapa santri kadang menggunakan batu kecil untuk membuat ketukan-ketukan yang mengiringi “lalaran” tersebut.

Di luar jadwal harian tersebut, ada pengajian yang khusus hanya diselenggarakan pada bakda Shubuh pada hari Selasa dan Jum’at, yaitu pengajian Kitab Dahlan Alfiyah karya Syaikh Ahmad Zaini Dahlan yang dibacakan oleh KH. Ishaq Ahmad (Pengasuh Pesantren Raudlatul Muttaqin). Meski seringkali datang terlambat, saya selalu mengikuti pengajian yang diampuni oleh Kiai yang kalem dan murah senyum tersebut. Penjelasan-penjelasannya begitu mudah dipahami.

Bagaimana dengan kegiatan bakda Isya’? Namanya juga swalayan, saya pun membuat jadwal sendiri. Setelah jama’ah shalat ‘Isya’ adalah waktu favorit bagi saya. Meski mengetahui bahwa banyak pengajian kitab kuning diselenggarakan pada waktu tersebut, saya lebih senang memanfaatkannya untuk “jeng-jeng”. Pada malam hari tersebut, bila tidak ada undangan tahlilan di rumah warga sekitar pesantren, saya manfaatkan waktu untuk mencari hiburan dengan menghadiri pengajian umum, “mbrosot” keluar dari kompleks pesantren untuk menonton layar tancap, atau menonton video di rumah warga yang sedang memiliki hajat mantu dan sunatan.

Kenangan indah dan sensasi “pesantren swalayan” yang telah berselang hampir tiga puluh tahun yang lalu tersebut nyaris terhapus dalam memori otak saya, hingga kabar duka datang pada Senin sore, 28 Mei 2018 yang lalu: KH. Ishaq Ahmad, Pengasuh Pesantren Raudlatul Muttaqin, salah satu “penyedia menu” pengajian yang pernah saya nikmati tersebut berpulang ke rahmatullah. Satu demi satu, para guru mulia itu telah “kapundhut”.

Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Selamat jalan, Pak Kiai.[]

Posting Komentar

0 Komentar