Tersambar Petir

Ilustrasi Petir (Getty Images/iStockphoto/Meindert van der Haven) - dalam Detik.News

Membaca berita tentang meninggalnya seorang anggota TNI karena tersambar petir di depan Markas Besar TNI AL beberapa waktu yang lalu membuat saya kembali teringat akan peristiwa sama yang pernah menimpa saya. Saya pun pernah merasakan betapa dahsyatnya sambaran petir itu, sebuah pengalaman yang tentu tidak akan pernah saya lupakan.

Peristiwanya terjadi pada 1983, saat saya masih duduk di kelas 5 SD. Saat masih kecil, saya dikaruniai Allah suara yang cukup merdu untuk ukuran warga desa di kampung saya di pedalaman Kabupaten Demak. Saat masih di bangku SD itu saya belajar seni tilawah al-Qur’an pada Ustad H. Rozihan al-Hafidz, salah satu ustad di kampung saya yang memiliki suara yang bagus. Saat itu suara saya menjadi sedikit terasah sehingga sering diminta untuk mengaji al-Qur’an di pengajian-pengajian kampung. Tidak hanya itu, saya juga sering diminta mengumandangkan adzan di masjid kampung saya.

Pada suatu hari jam 14.00 WIB di tahun itu, hujan deras turun dibarengi dengan angin topan yang berhembus kencang dan suara petir yang menyambar-nyambar di udara. Suasana itu masih terus berlangsung hingga datang waktu sholat ashar. Setelah bedug ditabuh kemudian beberapa orang tua meminta saya untuk mengumandangkan adzan dengan menggunakan speaker. Pada saat itu, orang-orang kempung belum memiliki literasi yang memadai tentang petir. Mereka belum tahu bahwa petir merupakan gejala listrik dalam atmosfer bumi yang tidak dapat dicegah dan terjadi akibat lepasnya muatan listrik baik positif maupun negatif yang terdapat dalam awan. Petir hanya terjadi pada awan yang sudah mencapai taraf matang. Petir terjadi karena adanya lompatan-lompatan electron dari dan ke bumi. Ia akan menyambar obyek yang paling dekat dengannya. Itulah mengapa disarankan agar pada saat turun hujan yang disertai petir orang tidak berlindung di bawah pohon yang tinggi, atau menggunakan handphone secara serampangan, karena akan menjadi sasaran empuk petir. National Geographic melaporkan bahwa di seluruh dunia setiap tahunnya ada 2000 orang yang meninggal dunia akibat tersambar petir. Yang bisa selamat dari sambaran petir akan mengalami gejala-gejala penyakit yang bertahan lama: pusing, lupa ingatan, lemah dan mati rasa.

Saya yang masih kecil waktu itu juga belum sepenuhnya memiliki pemahaman yang memadai tentang petir. Itulah mengapa dengan tanpa beban saya penuhi permintaan mengumandangkan adzan dengan menggunakan speaker. Di tengah ledakan-ledakan suara petir yang menyambar-nyambar di udara, saya mengambil mic dan mulai mengumandangkan adzan. Suara adzan yang saya kumandangkan mulai terdengar di udara melalui speaker yang dipasang di puncak pohon kelapa yang berdiri tinggi di sebelah selatan masjid, seolah-olah ingin menyaingi suara-suara ledakan petir yang menyambar-nyambar tiada henti itu. Kalimat-kalimat awal dalam adzan masih bisa saya kumandangkan dengan baik. Namun saat saya sampai pada kalimat Hayya ‘ala al-falah yang pertama, terdengar suara ledakan dahsyat, tidak hanya di speaker yang dipasang di puncak pohon kelapa, melainkan juga di mic yang saya pegang. Bahkan tidak hanya itu, suara ledakan dahsyat itu dibarengi dengan semburan api besar dari mic yang saya pegang, seolah-olah hendak melahap dan membakar seluruh tubuh saya. Saya terdorong ke belakang menghantam dinding masjid. Mic pun mati seketika.

Ledakan dahsyat dan semburan api besar itu membuat pandangan mata saya berkunang-kunang. Meski masih bisa berdiri tegak, namun saya merasakan lemas di seluruh tubuh saya. Secara fisik saya tidak kurang suatu apa, namun secara mental saya terguncang juga. Karenanya saya pun memutuskan duduk di lantai dan mengambil nafas secara teratur. Saya memejamkan mata sejenak untuk menenangkan diri.

Saat membuka mata, saya melihat sudah banyak orang berdatangan ke dalam masjid. Suara ledakan dahsyat itu tampaknya membuat mereka penasaran. Meski hujan masih turun dengan derasnya, banyak orang yang datang ke masjid untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mereka yang mulai memenuhi masjid itu melihat saya duduk lemas di lantai. Yu Rom, saudara yang rumahnya tak jauh dari rumah saya, pun segera menggendong saya untuk diajak pulang ke rumah. Di rumah ternyata telah banyak juga orang yang berdatangan karena mengira bahwa saya meninggal akibat sambaran petir itu.

Hingga kini saya senantiasa bersyukur bahwa Allah masih berkenan menyelamatkan dan memberikan umur panjang pada saya. Saya tidak kurang suatu apa pun akibat sambaran petir tersebut, tidak lemas, lupa ingatan atau mati rasa. Kulit saya yang gelap ini pun asli dari sejak saya lahir, bukan karena terbakar oleh sambaran petir tersebut. La haula wa la quwwata illa billah al-aliyy al-adzim.[]

Posting Komentar

0 Komentar