Kami (saya dan empat orang kawan dari LP2M UIN Walisongo) sedang ngobrol santai dengan Kiai Idham Kholid (Mantan Ketua DPRD Kabupaten Wonosobo) di Dieng Restaurant yang terletak tidak jauh dari Kantor Kabupaten Wonosobo, ketika tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami seorang laki-laki muda berpakaian lusuh. Ada bekas luka bakar yang belum sembuh benar di bagian leher dan tangannya. Tampak ada gejala ketidaknormalan secara psikologis dari sorot matanya. Saya menduga bahwa dia adalah pengemis yang hendak meminta uang pada kami.
Ketika saya menyodorkan padanya satu lembar uang lima ribuan dan beberapa lembar uang kertas dua ribuan, dia menolak dengan mengatakan: “Moh … (tidak mau) ...”. Saya pun kemudian membatin bahwa dugaan saya salah. Ternyata dia bukan pengemis. Sambil berjalan sempoyongan mengitari kami semua dia mengatakan: “Ngko sampeyan dho kaji kabeh …. (Nanti kalian semua akan pada naik haji…)”.
Kami pun serentak mengamini kata-katanya. Ternyata dia masih berdiri terus di antara kami. Saya pun menyodorkan padanya selembar uang dua puluh ribuan. Responnya sama. Dia menolak uang pemberian saya itu. Kami pun menjadi bingung dibuatnya.
Saya pun membuka dompet untuk mengambil selembar uang lima puluhan ribu dan saya sodorkan padanya. Rupanya dia melihat isi dompet saya. Ketika saya sodorkan uang lima puluh ribuan itu dia lagi-lagi menolaknya sambil mengatakan dengan terbata-bata: “Aku njaluke satus ewu … (aku mintanya seratus ribu…)”.
Pada saat itulah dua orang petugas restoran masuk dan segera menarik tangannya untuk keluar. Tapi dia cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya di lantai. Tubuhnya terlentang di lantai sambil menyembunyikan kedua tangannya sebagai tanda tidak mau dipaksa keluar.
Dengan suara parau sambil menangis dia kembali mengatakan: “Aku njaluke satus ewu .… (aku mintanya seratus ribu…)”. Petugas restoran tetap mencoba menyeretnya keluar dengan tarikan yang lebih keras, tapi dia bersikeras bertahan.
Merasa kasihan melihatnya diseret paksa petugas restoran itu, saya pun kemudian mengambil selembar uang seratus ribuan dan saya sodorkan padanya. Masih dalam posisi telentang di lantai dia menerima uang tersebut. Dia pun bangkit berdiri sambil mengatakan: “Matur nuwun nggih...Suk njenengan dho kaji kabeh (Terima kasih ya...besok kalian semua akan naik haji)”.
Sekali lagi kami mengamininya. Dia pun keluar dari restoran dengan berjalan sempoyongan. Sepeninggalnya kami semua tertawa geli melihatnya. Dia memang pengemis berkelas.[]
0 Komentar