Bila datang di masjid pada jam 11.00 WIB untuk mengikuti shalat Jum’at di tanah air, maka kita pasti akan menempati shaf pertama, dan mungkin kita akan diledek oleh kawan kita sebagai orang yang berburu onta. Namun bila kita baru datang pada jam itu di Masjidil Haram untuk mengikuti shalat Jum’at, maka kita harus merelakan diri untuk berjum’atan di lingkar jalanan yang jaraknya cukup jauh dari masjid yang disucikan itu. Itulah yang saya dan istri alami saat berjum’atan di masjid kebanggaan umat Islam sedunia itu.
Kami berdua datang pada jam 11.00 WSAS, namun Masjidil Haram dan lingkar luarnya pada radius seratusan meter telah penuh dengan manusia dari berbagai negara untuk mengikuti shalat Jum’at. Padahal ritual Jum’atan baru akan dimulai pada jam 12.15 WSAS. Karena tidak bisa memasuki area masjid, kami pun harus merelakan diri untuk mengikuti shalat Jum’at dengan berpanas ria di jalanan bawah Menara Jam (Burj al-Sa’ah) bersama dengan kerumunan manusia yang berjubel.
Pada pukul 12.20 WSAS, khutbah Jum’at pun dimulai dan kemudian dilaksanakan shalat Jum’at. Dengan menggelar sorban di jalanan itu kami berdua berpura-pura khusyu’ mengikuti ritual ibadah mingguan itu. Begitu shalat Jum’at selesai, ratusan ribu manusia yang mengikuti shalat Jum’at itu pun langsung membubarkan diri, termasuk kerumunan manusia yang berada di jalanan tempat kami shalat.
Sementara kami, sebagaimana layaknya orang kampung, masih membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk tetap duduk dan berdzikir. Tinggal kami berdua saja yang masih duduk di jalanan itu. Rupanya duduk dan dzikir kami di jalanan itu dimaknai lain oleh para jamaah dari berbagai negara yang melewati kami. Mereka mengira kami sebagai pengemis yang harus dikasihani. Banyak di antara mereka yang kemudian melemparkan uang kertas 1 dan 5 riyal-an di atas sorban yang kami gelar.
Setelah selesai berdzikir kami pun termangu melihat tumpukan uang yang ada di atas sorban yang kami gelar itu. Tanpa menghitungnya kami pun mengumpulkan uang itu. Di jalanan menuju hotel kami bagikan uang itu pada para pengemis yang ada. Setelah sampai di hotel tempat kami menginap, saya pun segera mengaca di kaca almari di kamar hotel. Saya amati betul wajah saya. Memang nampak sekali ada gurat-gurat kemiskinan di sana. Pantaslah kalau mereka mengira kami, saya khususnya, sebagai pengemis.[]
1 Komentar
Mantab Prof. Inspiratif. Terima kasih ilmunya Prof.
BalasHapus