Tidak ada santri yang mau mengkonsumsi daging babi, meski dibayar sekali pun. Tetapi kalau memang sudah “rejeki” tentu tidak akan ke mana.
Pada tahun 2007, kami, 16 (enam belas) orang dosen IAIN (sekarang UIN) Walisongo selama empat puluh hari mengikuti Training on Conflict Resolution di Wageningen Universiteit, Belanda. Selama di sana, kami tinggal di Wageningen International Regency (WIR), sebuah apartement berkelas internasional di kota kecil bernama Wageningen itu.
Setiap pagi kami mendapatkan jatah sarapan gratis dari apartement tersebut. Menunya macam-macam, dari yang klaster vegetarian hingga penikmat aneka daging. Semua tersedia di meja dengan tulisan nama menu dan bahan asal. Di antara menu-menu tersebut, yang selalu menjadi favorit saya adalah salad, buah-buahan, sosis, orak-arik telur dan asapan daging sapi yang biasanya diletakkan di meja pojok.
Pagi itu kami sarapan lebih pagi dari biasanya karena ada rencana untuk jalan-jalan ke Koln, Jerman. Beberapa menu masakan telah disajikan, meskipun si Kareem, pemuda kelahiran Maroko yang menjadi juru masak di apartement tersebut, belum memasang tulisan di masing-masing menu. Seperti biasa, yang saya serbu pertama kali adalah asapan daging di meja pojok. Dengan lahap saya makan beberapa irisan daging tersebut.
Ketika hendak mengakhiri ritual makan dengan mengkonsumsi buah-buahan, Kang Mukhsin Jamil, salah seorang kawan peserta training, dengan senyum-senyum bertanya pada saya: “Daging babi enak ya?”
Saya pun dengan santai menjawabnya: “Enak bangeeet”. Saya yang santai karena merasa mengkonsumsi asapan daging sapi itu pun cuek dengan pertanyaan kawan tersebut.
Ketika hendak mengambil minuman, saya iseng mengecek tulisan-tulisan menu makanan yang telah mulai dipasang oleh Kareem. Seperti disambar petir di siang bolong, saya kaget luar biasa. Asapan daging di meja pojok yang biasanya bertuliskan BEEF ternyata pagi itu berubah menjadi PORK.
Duh, rupanya Kareem si juru masak yang gagal memacari cewek bule itu merubah posisi makanan tidak sebagaimana biasanya..., dan, fixed, yang saya lahap tadi adalah daging babi. Saya telah berusaha memuntahkannya, tapi ternyata tidak bisa. Ternyata daging babinya merasa enjoy dalam perut saya yang penuh dosa tersebut.
Apakah saya sebagai santri berdosa karena mengkonsumsi daging babi tersebut?
0 Komentar